Wednesday, June 22, 2011

Sebuah Kepekaan Memilih (XIV


Hari-hari pasca kejadian skenario pencalonan presidium itu, aku menjadi semakin dikenal di pondok, yang sebelumnya tak banyak orang yang mengetahui aku. Namun ada hikmah muncul dari setiap kejadian, aku menjadi semakin banyak teman dan kawan. Kehadiranku di panggung RTO sebagai presidium nampaknya menjadi berkah juga untuk memperbaiki imageku di mata para ustadz, seperti diketahui sebelumnya aku beberapa kali kena takzir dan terancam di keluarkan dari pondok, namun setelah kejadian itu mereka pun berbalik simpati kepadaku. Itu yang aku lihat dari beberapa kesempatan yang aku temui.

Di dalam berorganisasi, tuntutan untuk lebih saling memahami sesama lebih di tekankan, lebih dari itu kita harus peka dalam menyikapi perbedaan yang ada, itulah jiwa luhur roh negeri tercinta Indonesia kita, tak hanya sampai disitu, kita sebagai “agent of change” harus membawa perubahan positif, tentunya untuk tumbuh kembangnya sikap, karakter dan nurani bangsa.

Perubahan yang dibebankan bukan semata-mata untuk unjuk kebolehan, namun sikap lahirilah yang dibarengi dengan keikhlasan untuk mengabdi dan berbakti, sikap inilah yang jarang ditemui pada masa sekarang ini, seorang pemimpin hanya ingin di puja saja, tanpa mengurangi peran vital seorang pemimpin, mereka lebih atau cenderung memaksakan apa yang menurutnya menguntungkan untuk dirinya.

Pada tanggal 27 Oktober 2006, berbagai organisasi se-Malang raya menggelar demo akibat kenaikan BBM (bahan bakar minyak), kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil yang tentunya semakin termarjinalkan dari buah kebijkan ini. Pemerintah pun beralasan kebijakan ini untuk menutupi kerugian negara akibat tingginya angka yang dikeluarkan untuk subsidi BBM tersebut. Subsidi jelas harus dikurangi namun bukan untuk rakyat; kepada para bos dengan kendaraan menterenglah subsidi ini tidak lagi berlaku.

Akhirnya kebijakan ini pula yang membuat aku dan kawan-kawanku di ijo ireng mencoba untuk menyampaikan aspirasi ini kaepada wakil rakyat terhormat.

Pagi itu, tepanya hari jum’at, kami berkumpul di depan perpustakaan kampus, sebelum pergi menuju pusat kota; gedung DPRD kota Malang, satu per satu pentolan organisasi ijo ireng berorasi di depan kami, untuk menyamakan tuntutan dalam satu komando aksi.

Kami merangsek maju menuju pusat kota, dengan menumpang truk, kami pun berangkat bersama dengan komisariat dan organisasi lainnya, aku berdiri berdekatan dengan seniorku; asmon, zainal, dan mas heru. Asmon nampak sumringah ikut demo kali ini, itu dikarenakan dia mendapat suntikan motivasi lebih dari gadis pujaannya yang baru semalam baru berikrar untuk berpacaran.

“wah mon, awakmu kok keto seneng dino iki?” tanya zainal yang memang sering usil kepada teman-temannya.

“yo skarepku, mau seneng juga gak minta uang dari kamu” jawab asmon sekenanya dengan sedikit dialek maduranya.

“yo aku khan takon, lek seneng, bagi koncone po’o” sela zainul.

“wes, arep aksi kok malah rame, iki lho nul, asmon iki mari di tompo cinta ne karo Susi, makane dia teko seneng” sela Heru menengahi keduanya.

“oh, selamat mas, semoga langgeng pacarannya sampai nikah” ucapku memberi selamat kepada seniorku ini.

“suwun dul, sekarang giliran kamu yang belum punya gandengan, masa jomblo terus, gak asik ah” asmon coba menjawab dengan bahasa indonesia yang terbilang gaul, tapi tetap saja, logat atau dialek maduranya mendominasi.

15 menit berlalu, akhirnya kami sampai di pusat kota, sebelum pergi ke gedung DPRD, kami terlebih dahulu singgah di kantor cabang ijo ireng yang berada di jalan slamet riyadi, kantor kecil yang seperti ruko; tak ada nilai istimewa dari tempat ini kecuali hanya letaknya saja yang berdekatan dengan pusat kota.

Disana telah banyak berkumpul orang-orang yang membawa bendera seperti kami; ijo ireng, dengan satu komando kami merangsek maju menuju gedung wakil rakyat, dalam perjalanan menuju kesana, tak lupa kami menyanyikan lagu-lagu aksi dan lagu Indonesia raya sebagai simbol keberpihakan kami kepada rakyat.

Sesampainya disana, koordinator aksi mulai unjuk gigi, dia berorasi dengan menggunakan mikopon butut, dengan lantang dia berkata:

“kawan-kawan, hari ini kita berada di depan gedung wakil rakyat yang terhormat, wakil kita sebagai penyambung lidah rakyat, untuk itu kita tidak perlu malu untuk berorasi disini karena ini rumah kita juga, rumah rakyat sebagai simbol pejuang kesejahteraan”

“namun yang terjadi pada akhir-akhir ini berbeda dengan apa yang kita harapkan, mereka (anggota DPRD) hanya diam ketika kesewenangan pemerintah pusat dalam menaikkan harga bahan bakar minyak, ini tidak bisa di biarkan, ini sebuah ketidakadilan, ini adalah sebuah bentuk penindasan baru, penjajahan baru yang diperan oleh pemerintah yang seharusnya mengayomi rakyatnya” sahutnya dengan nada berkobar-kobar, sang koordinator aksi beraksi.

Aku, asmon, dan zainal hanya berdiri mematung sambil mencoba berteduh di balik bendera yang kami bawa, sementara heru sibuk membagikan air minum kepada teman-teman lainnya, aksi hari ini ternyata tidak mendapatkan respon dari wakil rakyat, mereka tidak menemui kami yang sudah 4 jam berorasi, sebagai bentuk kekecewaan kami, akhirnya kami pergi meninggalkan gedung wakil rakyat ini, sebelum pergi, kami bersama-sama meludahi jalan munuju gedung DPRD.

Waktu telah menunjukan jam 11.35 wib, kami pun pulang dengan berjuta perasaan kecewa, tapi seminggu lagi kami akan datang kembali untuk membela rakyat yang semakin terjepit, setelah itu, kami pun buru-buru meninggal kantor cabang karena 15 menit lagi shalat jum’at akan segera di mulai, kami pun lantas menuju mesjid kampus terdekat yaitu kampus UIN Maulana Malik Ibrahim.

Setelah shalat jum’at, mas heru dan zainal memberitahu aku bahwa Rapat Tahunan Organisasi (komisariat) yang akan dihelat awal tahun depan, jadi dari beberapa persyaratan; aku, erluna, dewi sudah masuk kriteria sebagai calon untuk menggatikan kepengurusahan mbak yani dan mas asmon yang akan segera demisioner.

Seiring waktu berlalu, aku merasa begitu tertekan, otomatis bila kelak aku menduduki posisi strategis tersebut, mau tidak mau aku harus menghabiskan separo waktuku di komisariat, sedangkan baru kemarin aku menyetorkan hapalan juz ‘amma sebagai takzir akibat kelalaianku tidak berada di pondok lebih dari 3 minggu, ditambah lagi, aku dituntut untuk cepat lulus kuliah karena ibuku hanya berjuang sendirian membiayai kuliahku setelah bapak meninggal dunia pertengahan tahun lalu, terus terang ini saat-saat dilematis. Aku harus memilih, apakah akan tetap exis atau exit, sebagai bagian dari ijo ireng ataukah fokus kuliah supaya cepat lulus?

Tiba saatnya waktu pendemisioneran pengurus lama, sebelumnya mereka memaparkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) nya kepada khalayak komisariat, asmon dan yani terlihat sumringah karena sebentar lagi mereka akan terbebas dari amanat komisariat setahun yang lalu, walau di serang bertubi-tubi dengan berbagai pertanyaan dari seluruh kebijakankan selama ini, mereka tetap santai menghadapinya, terlebih asmon sering mengelinginya dengan humor.

Sementara aku juga tengah sibuk mencari cara agar sesi LPJ ini terus berlangsung hingga larut malam sehingga sesi pemilihan ketua komisariat akan di undur besok pagi karena bila ini terwujud aku bisa leluasa untuk escape dari arena sidang, selain alasan di atas tadi, untuk kali ini, aku punya kesimpulan bila aku tetap mengikuti acara pemilihan ini aku berasumsi akan mendapatkan 40 persen suara, sementara luna dan dewi berbagi angka sama, kesimpulan ini diperoleh dari analisaku mengenai kader yang hadir, karena mayoritas mereka adalah perempuan.

Dan rencana pun berjalan seperti yang aku inginkan, sesi LPJ akhirnya berlarut-larut hingga tengah malam dan akan di lanjutkan besok, itu berarti peluangku lebih besar untuk escape dari arena sidang, dan pagi itu juga aku pergi meniggalkan arena sidang untuk izin kuliah AIK minggu, sesampainya di kampus aku pun merasa plong, lalu aku matikan handphone bututku.

Dan saat-saat ketika itulah, biasanya orang di uji; dengan kemampuan memilih suatu masalah; diuji dengan berbagai variabel kemungkinan yang mungkin akan berakhir kecewa atau bahagia; maka berbahagialah orang yang diberikan anugerah untuk memilih.

Dan aku pun memilih untuk tidak dicalonkan sebagai calon ketua komisariat karena berbagai pertimbangan yang menurutku lebih baik.

“maafkan aku kawan...!” seru kepada semua orang yang hadir pada acara rapat tahunan itu.

Ini sebuah pilihan hidup, jauh dari segala sudut pandang objektif yang hadir dari cara pandang setiap kalian, aku manusia biasa yang hanya dianugerahi hati tanpa bisa sepenuhnya diyakini, aku manusia biasa yang dianugerahi otak tanpa bisa berontak dengan pilihan situasi yang semakin mendesak, seandainya aku masih bisa memilih dengan berbagai kemampuan memilih keadaan, maka aku tidak akan pergi dari arena rapat tahunan itu, namun hidup adalah sebuah pilihan, kawan!.

2 comments:

  1. sedd dah vi. lo nulis panjang gini.. inget semua sama kejadian waktu itu? top deh. hehehe

    ReplyDelete
  2. hahahhaa.... makannya pgn dicoba buat inget kejadian wktu sekolag, msh kuat gk... thnks bro

    ReplyDelete