Wednesday, June 22, 2011

Sebuah Kepekaan Memilih (XIV


Hari-hari pasca kejadian skenario pencalonan presidium itu, aku menjadi semakin dikenal di pondok, yang sebelumnya tak banyak orang yang mengetahui aku. Namun ada hikmah muncul dari setiap kejadian, aku menjadi semakin banyak teman dan kawan. Kehadiranku di panggung RTO sebagai presidium nampaknya menjadi berkah juga untuk memperbaiki imageku di mata para ustadz, seperti diketahui sebelumnya aku beberapa kali kena takzir dan terancam di keluarkan dari pondok, namun setelah kejadian itu mereka pun berbalik simpati kepadaku. Itu yang aku lihat dari beberapa kesempatan yang aku temui.

Di dalam berorganisasi, tuntutan untuk lebih saling memahami sesama lebih di tekankan, lebih dari itu kita harus peka dalam menyikapi perbedaan yang ada, itulah jiwa luhur roh negeri tercinta Indonesia kita, tak hanya sampai disitu, kita sebagai “agent of change” harus membawa perubahan positif, tentunya untuk tumbuh kembangnya sikap, karakter dan nurani bangsa.

Perubahan yang dibebankan bukan semata-mata untuk unjuk kebolehan, namun sikap lahirilah yang dibarengi dengan keikhlasan untuk mengabdi dan berbakti, sikap inilah yang jarang ditemui pada masa sekarang ini, seorang pemimpin hanya ingin di puja saja, tanpa mengurangi peran vital seorang pemimpin, mereka lebih atau cenderung memaksakan apa yang menurutnya menguntungkan untuk dirinya.

Pada tanggal 27 Oktober 2006, berbagai organisasi se-Malang raya menggelar demo akibat kenaikan BBM (bahan bakar minyak), kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil yang tentunya semakin termarjinalkan dari buah kebijkan ini. Pemerintah pun beralasan kebijakan ini untuk menutupi kerugian negara akibat tingginya angka yang dikeluarkan untuk subsidi BBM tersebut. Subsidi jelas harus dikurangi namun bukan untuk rakyat; kepada para bos dengan kendaraan menterenglah subsidi ini tidak lagi berlaku.

Akhirnya kebijakan ini pula yang membuat aku dan kawan-kawanku di ijo ireng mencoba untuk menyampaikan aspirasi ini kaepada wakil rakyat terhormat.

Pagi itu, tepanya hari jum’at, kami berkumpul di depan perpustakaan kampus, sebelum pergi menuju pusat kota; gedung DPRD kota Malang, satu per satu pentolan organisasi ijo ireng berorasi di depan kami, untuk menyamakan tuntutan dalam satu komando aksi.

Kami merangsek maju menuju pusat kota, dengan menumpang truk, kami pun berangkat bersama dengan komisariat dan organisasi lainnya, aku berdiri berdekatan dengan seniorku; asmon, zainal, dan mas heru. Asmon nampak sumringah ikut demo kali ini, itu dikarenakan dia mendapat suntikan motivasi lebih dari gadis pujaannya yang baru semalam baru berikrar untuk berpacaran.

“wah mon, awakmu kok keto seneng dino iki?” tanya zainal yang memang sering usil kepada teman-temannya.

“yo skarepku, mau seneng juga gak minta uang dari kamu” jawab asmon sekenanya dengan sedikit dialek maduranya.

“yo aku khan takon, lek seneng, bagi koncone po’o” sela zainul.

“wes, arep aksi kok malah rame, iki lho nul, asmon iki mari di tompo cinta ne karo Susi, makane dia teko seneng” sela Heru menengahi keduanya.

“oh, selamat mas, semoga langgeng pacarannya sampai nikah” ucapku memberi selamat kepada seniorku ini.

“suwun dul, sekarang giliran kamu yang belum punya gandengan, masa jomblo terus, gak asik ah” asmon coba menjawab dengan bahasa indonesia yang terbilang gaul, tapi tetap saja, logat atau dialek maduranya mendominasi.

15 menit berlalu, akhirnya kami sampai di pusat kota, sebelum pergi ke gedung DPRD, kami terlebih dahulu singgah di kantor cabang ijo ireng yang berada di jalan slamet riyadi, kantor kecil yang seperti ruko; tak ada nilai istimewa dari tempat ini kecuali hanya letaknya saja yang berdekatan dengan pusat kota.

Disana telah banyak berkumpul orang-orang yang membawa bendera seperti kami; ijo ireng, dengan satu komando kami merangsek maju menuju gedung wakil rakyat, dalam perjalanan menuju kesana, tak lupa kami menyanyikan lagu-lagu aksi dan lagu Indonesia raya sebagai simbol keberpihakan kami kepada rakyat.

Sesampainya disana, koordinator aksi mulai unjuk gigi, dia berorasi dengan menggunakan mikopon butut, dengan lantang dia berkata:

“kawan-kawan, hari ini kita berada di depan gedung wakil rakyat yang terhormat, wakil kita sebagai penyambung lidah rakyat, untuk itu kita tidak perlu malu untuk berorasi disini karena ini rumah kita juga, rumah rakyat sebagai simbol pejuang kesejahteraan”

“namun yang terjadi pada akhir-akhir ini berbeda dengan apa yang kita harapkan, mereka (anggota DPRD) hanya diam ketika kesewenangan pemerintah pusat dalam menaikkan harga bahan bakar minyak, ini tidak bisa di biarkan, ini sebuah ketidakadilan, ini adalah sebuah bentuk penindasan baru, penjajahan baru yang diperan oleh pemerintah yang seharusnya mengayomi rakyatnya” sahutnya dengan nada berkobar-kobar, sang koordinator aksi beraksi.

Aku, asmon, dan zainal hanya berdiri mematung sambil mencoba berteduh di balik bendera yang kami bawa, sementara heru sibuk membagikan air minum kepada teman-teman lainnya, aksi hari ini ternyata tidak mendapatkan respon dari wakil rakyat, mereka tidak menemui kami yang sudah 4 jam berorasi, sebagai bentuk kekecewaan kami, akhirnya kami pergi meninggalkan gedung wakil rakyat ini, sebelum pergi, kami bersama-sama meludahi jalan munuju gedung DPRD.

Waktu telah menunjukan jam 11.35 wib, kami pun pulang dengan berjuta perasaan kecewa, tapi seminggu lagi kami akan datang kembali untuk membela rakyat yang semakin terjepit, setelah itu, kami pun buru-buru meninggal kantor cabang karena 15 menit lagi shalat jum’at akan segera di mulai, kami pun lantas menuju mesjid kampus terdekat yaitu kampus UIN Maulana Malik Ibrahim.

Setelah shalat jum’at, mas heru dan zainal memberitahu aku bahwa Rapat Tahunan Organisasi (komisariat) yang akan dihelat awal tahun depan, jadi dari beberapa persyaratan; aku, erluna, dewi sudah masuk kriteria sebagai calon untuk menggatikan kepengurusahan mbak yani dan mas asmon yang akan segera demisioner.

Seiring waktu berlalu, aku merasa begitu tertekan, otomatis bila kelak aku menduduki posisi strategis tersebut, mau tidak mau aku harus menghabiskan separo waktuku di komisariat, sedangkan baru kemarin aku menyetorkan hapalan juz ‘amma sebagai takzir akibat kelalaianku tidak berada di pondok lebih dari 3 minggu, ditambah lagi, aku dituntut untuk cepat lulus kuliah karena ibuku hanya berjuang sendirian membiayai kuliahku setelah bapak meninggal dunia pertengahan tahun lalu, terus terang ini saat-saat dilematis. Aku harus memilih, apakah akan tetap exis atau exit, sebagai bagian dari ijo ireng ataukah fokus kuliah supaya cepat lulus?

Tiba saatnya waktu pendemisioneran pengurus lama, sebelumnya mereka memaparkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) nya kepada khalayak komisariat, asmon dan yani terlihat sumringah karena sebentar lagi mereka akan terbebas dari amanat komisariat setahun yang lalu, walau di serang bertubi-tubi dengan berbagai pertanyaan dari seluruh kebijakankan selama ini, mereka tetap santai menghadapinya, terlebih asmon sering mengelinginya dengan humor.

Sementara aku juga tengah sibuk mencari cara agar sesi LPJ ini terus berlangsung hingga larut malam sehingga sesi pemilihan ketua komisariat akan di undur besok pagi karena bila ini terwujud aku bisa leluasa untuk escape dari arena sidang, selain alasan di atas tadi, untuk kali ini, aku punya kesimpulan bila aku tetap mengikuti acara pemilihan ini aku berasumsi akan mendapatkan 40 persen suara, sementara luna dan dewi berbagi angka sama, kesimpulan ini diperoleh dari analisaku mengenai kader yang hadir, karena mayoritas mereka adalah perempuan.

Dan rencana pun berjalan seperti yang aku inginkan, sesi LPJ akhirnya berlarut-larut hingga tengah malam dan akan di lanjutkan besok, itu berarti peluangku lebih besar untuk escape dari arena sidang, dan pagi itu juga aku pergi meniggalkan arena sidang untuk izin kuliah AIK minggu, sesampainya di kampus aku pun merasa plong, lalu aku matikan handphone bututku.

Dan saat-saat ketika itulah, biasanya orang di uji; dengan kemampuan memilih suatu masalah; diuji dengan berbagai variabel kemungkinan yang mungkin akan berakhir kecewa atau bahagia; maka berbahagialah orang yang diberikan anugerah untuk memilih.

Dan aku pun memilih untuk tidak dicalonkan sebagai calon ketua komisariat karena berbagai pertimbangan yang menurutku lebih baik.

“maafkan aku kawan...!” seru kepada semua orang yang hadir pada acara rapat tahunan itu.

Ini sebuah pilihan hidup, jauh dari segala sudut pandang objektif yang hadir dari cara pandang setiap kalian, aku manusia biasa yang hanya dianugerahi hati tanpa bisa sepenuhnya diyakini, aku manusia biasa yang dianugerahi otak tanpa bisa berontak dengan pilihan situasi yang semakin mendesak, seandainya aku masih bisa memilih dengan berbagai kemampuan memilih keadaan, maka aku tidak akan pergi dari arena rapat tahunan itu, namun hidup adalah sebuah pilihan, kawan!.

I J O I R E N G ( XII )


Ijo ireng adalah warna bendera salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Dalam bahasa jawa “ijo” berarti hijau dan “ireng” berarti hitam, organisasi ini telah melahirkan banyak tokoh kaliber nasional, beberapa diantaranya Jusuf Kalla, Nurkholis Majid, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah nama organisasi ini, tadinya terus terang aku merasa ragu untuk bergabung dan menjadi bagian dari organisasi ini, disamping aku masih ingin menikmati sedikit waktu luangku setelah seminggu bergumul dengan tumpukan buku dan tugas-tugas, aku juga sedikit mengerti bahwa hampir 95% anggota keluarga besarku terlahir dan besar pada organisasi berbeda, bahkan bapakku (alm) adalah didikan organisasi berbendera kuning biru yang notabenenya adalah lawan politik organisasi ini.

Oleh karena alasan tadi, aku bimbang akan kemana langkahku, selain harus cermat memilih aku juga berkeinginan dapat melihat sesuatu pada sudut yang berbeda, hingga suatu kesempatan aku berdiskusi dengan bapak (alm).

“menurut bapak, dengan cara apa kita dapat menemukan jati diri?” tanyaku padanya, ketika liburan lebaran pertama kuliah.

“sebisa mungkin kamu harus sering berkumpul dengan orang banyak agar pengetahuan dan pengalamanmu bertambah, nah.. dari sanalah kamu bisa memilah dan memilih apa saja yang baik dan buruk buat kamu jalani, lebih dari itu kamu harus bisa memimpin” jelasnya panjang.

“lalu apa enaknya jadi pemimpin; sering dikritik, dicaci maki, bukankah lebih enak jadi makmum saja?” tanyaku seolah tak setuju.

“kamu pasti hafal hadist Rosullah SAW; setiap kamu adalah pemimpin, bukan makmumkan! Pada saat sering dikritik, dicaci maki itulah, kamu akan berpikir untuk introspeksi diri dan lebih jauhnya lagi kamu akan terlatih untuk memecahkan masalah pada situasi itu, jadi bukan hanya menunggu komando saja, hidup itu harus punya karakter, nak. Agar tidak di permainkan yang lainnya” jelasnya sambil mengisap sebatang Dji Sam Soe.

“oia, betul pak, terus caranya untuk terlatih seperti itu, bagaimana?’ timpalku sambil membenarnya letak dudukku.

“ya kamu harus masuk dan aktif di organisasi, disana kamu akan menemui banyak tantangan dan bertemu banyak orang, tapi jangan berpikir bahwa dunia sekolah sama seperti dengan dunia gerekan mahasiswa?” jelasnya.

“memang bedanya dimana, pak? Oia, sewaktu OSPEK dulu banyak yang nawarin Adul untuk masuk organisasi”. Kataku sambil menyeruput kopi susu bikinanku.

“ketika kamu masuk dunia kampus, kamu akan menemui berbagai macam watak dan komplesitas pergaulan, berbeda dengan ketika di sekolah, semua masih karena guru. Wah bagus itu, dul, berarti kamu sudah terdeteksi mereka, memang apa yang membuat kamu istimewa seperti itu?” timpalnya.

“ya, mungkin waktu itu Adul mungkin terlihat vokal aja, mereka memakai banyak bendera, ada yang berwarna hijau-hitam, kuning-biru, merah-hitam, hitam-putih dan banyak lagi, Adul jadi bingung milihnya. Klo bapak dulu apa?” tanyaku.

“pada dasarnya semua organisasi itu sama bagusnya, namun yang akan membedakan dari semua itu adalah kemauanmu untuk maju dan berkembang kedewasaan berpikir, maka dari sanalah pola pikirmu akan sedikit demi sedikit terbuka. Kalau bapak dulu ikut yang warnanya kuning-biru, bahkan hampir semua saudara-saudaramu terdidik dari sana, tapi bapak tidak akan memaksa kamu untuk ikut organisasi tersebut, silakan kamu mau pilih yang mana saja, yang terpenting adalah karakter dan jatidirimu terbentuk”. Ungkapnya bijak.

“iya pak, mungkin semester depan Adul sudah mulai aktif di organisasi pada salah satu bendera mereka”. Timpalku.

“besar harapan bapak, kamu bisa menjadi pemimpin, minimal dalam keluarga”. Jelanya sambil menepuk-nepuk bahuku.

Itulah secuil cuplikan percakapan dengan bapak nomor satuku, aku bangga padanya, karena dia tidak pernah membatasi pola pikir anaknya, bahkan ketika akan masuk kuliah dulu di kampusku yang sekarang ini, bapak siap pasang badan ketika ada sebagian dari keluarga besarku yang melarangku berkuliah di universitas ini, karena masalah klasik beda paham dalam beribadah.

************************

Selepas liburan lebaran, ternyata benar saja,- di pelataran pintu masuk kampus hampir dikuasai mahasiswa senior yang berderet mempromosikan organisasinya, aku acuh saja kulangkahkan kakiku menuju kelas kuliah hari iini, namanya bukan promosi kalau tanpa bujuk rayu, beberapa diantara mereka sigap mendatangiku yang acuh berjalan maju.

“dik, silakan ambil brosurnya, ini organisasi tertua di indonesia bahkan berdiri sebelum Budi Oetomo?” bujuknya kepadaku.

Wah mas, terima kasih. Saya sedang terburu-buru, ada kuliah” sanggahku yang terus berjalan, tetapi yang terpikir lucu olehku adalah promosinya yang menyatakan “organisasi tertua sebelum Budi Oetomo”, aku tidak habis pikir mendengar kata-kata promosi orang tadi, “siapa yang buta sejarah, apa aku yang harus membaca lagi, sepengetahuanku, Budi Oetomo adalah cikal bakal berdirinya organisasi di Indonesia” pikirku heran sambil terus berjalan berlalu meninggalkan kerumunan orang-oarang tadi.

Setelah kejadian tadi, ketika aku hendak shalat dhuhur di mushola kampus, aku bertemu dengan salah satu senior yang kuhapal dia adalah pentolan salah satu organisasi di kampus,

“dul, habis ini ada acara gak? “ sapanya akrab

“wah, kebetulan gak ada mas, aku mau langsung pulang” jawabku sopan.

“ayo ikut seminar, ada seminar tentang “urgensi RUU pornografi, pematerinya ada; anggota DPR RI, artis, ada juga mantan PSK” jelasnya kepadaku.

“wah keren tuh, bayar gak mas? Terus terang klo bayar saya gak punya duit” sambungku.

“gratis, asal kamu mau ikut organisasiku” jawabnya singkat.

Sejurus kemudian, aku berjalan mengikuti seniorku ini, dalam perjalanan dia mempromosikan organisasinya, dari mulai sejarah berdirinya hingga keimpulan bahwa merekalah yang terbaik di kampus ini, aku sendiri acuh saja dengan penjelasannya, dalam pikiranku sekarang adalah aku bisa bertemu artis dan juga PSK itu.

******

Selesai seminar aku langsung pulang, tanpa sepengetahuan seniorku tadi, aku langsung pergi meninggalkan tempat seminar yang sedang mengerumuni artis dan PSK yang menjadi pemateri pada acara seminar itu. Dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan Erluna –musuh diskusiku- dia mengajakku untuk lebih intens diskusi agar potensi yang kita milki bisa dikembangkan, namun intinya dia mengajakku gabung dalam organisasi “ijo ireng”nya, dengan nada diplomatis aku menjawab

“ya, nanti aku pikir lagi” sambil berlalu pergi

“dul, nanti ku kabari lagi via hape” teriaknya keras seolah mengingatkan aku.

Lalu aku pergi dengan meyetop mobil kebesaranku, angkot biru CKL; jam hapeku menunjukan jam 17. 25 wib, itu berarti aku akan tiba ke pondok tepat adzan magrib berkumandang, berarti juga aku tak punya waktu banyak untuk sekedar meluruskan badan yang sudah seharian beraktifitas.

Benar saja prediksiku, sesampainya di pondok aku langsung wudlu dan bergegas menuju mesjid untuk berjamaah shalat magrib dan dirosah, di kamar teman-temanku sudah pergi ke mesjid, Cuma ada si Jono yang tiduran di dalam lemari untuk menghindari ustadz yang lalu lalang untuk mengingatkan kami berjamaah dan dirosah.

“sssssstttt, ojo rame dul” suaranya memecah keheningan asrama yang sudah kosong.

“oalah, kamu tho, Jhon” sambutku.

Aku pun pergi meninggalkan Jono yang sedang asik bersembunyi, padahal dirosah hari ini akan diisi oleh kepengasuhan, bapak Nafi selaku kepala pondok pesantren kami, aku sendiri tidak mengerti kenapa Jono tidak mau ikut disorahnya Ustadz nafi, seingatku dia dulu selalu bersemangat kalau ada dirosah kepengasuhan.

Akhirnya rutinitasku hari ini selesai sudah, mulai dari berjamaah subuh yang disambung dengan dirosah lalu pergi ke kampus dan berjamaah sholat magrib dan isya yang diselingi dengan dirosah. aku pun langsung merebahkan badanku di atas ranjang berlantai 2, namun sesaat kemudian, ada panggilan dari mikrofon yang memanggil namaku.

“Attension to Abdul Omen there is someone calling you” begitu suara mikrofon itu berbunyi memanggilku.

Tentu saja, aku langsung bergegas turun ke lantai 1 menuju ruang telepon, pikirku, “siapa yang tumben menelpon aku ya”

“haloo, assalamu’alaikum, ini dengan Omen ya?”

“wa’alaikumsalam, iya betul, ini sapa ya?”

“ini mas Puji sumargono, oia, katanya Erluna kamu tertarik ikut organisasi ya” tanyanya tanpa basa-basi.

“iya mas”

“sekarang kamu bisa datang ke Tirto Utama Gg.8 gak?” pintanya yang masih tanpa basa-basi.

“waduh mas, aku baru aja datang ke pondok, klo sekarang aku kesana, udah malam lagi pula aku mau ngerjain tugas kuliah” jelasku diplomatis.

“ya udah, klo begitu besok kamu bisa ikut training kader 1 khan, acaranya dilaksanakan besok sampai minggu sore, biayanya Cuma Rp. 20.000,;” jelasnya masih tanpa basa-basi.

“ iya mas, insyaAllah saya datang, besok jam berpa dan kumpul dimana?” tanyaku mencoba untuk memperjelas.

“besok kumpul dulu di alamat tadi –Tirto Utama Gg. 8- jam 08.00 pagi ya, ditunggu loh, maaf udah ganggu kamu” sambungnya.

“okeh mas, ga apa-apa”

“assalamu’alaikum”

“wa’alaikum salam”

Dan pagi itu, aku berangkat untuk mengikuti latihan kader 1 se-KorKom kampus, sebagai catatan ternyata hanya aku; kader yang tidak mengikuti tahapan seleksi atau screning organisasi. Dan setelah itu, aku resmi menjadi bagian dari kader Ijo-Ireng.

Wednesday, June 15, 2011

MUSIBAH

Setelah melaksanakan ibadah shalat Isya, kami berkumpul di pelataran mesjid, nampak 25 orang sudah siap berangkat untuk memperbaiki gizi (ups..! tahlilan maksudnya), aku punya satu anekdot yang aku peroleh dari guruku di kampung ; "apabila ingin beribadah cepat, silakan ikut Muhammadiyah, tapi apabila ingin perut kenyang setelah ibadah, silakan ikut NU (Nahdlatul Ulama)" kenangku.

Dari kejauhan, aku melihat Yuki dan Muladi sedang berbincang, tak salah lagi pasti sedang ngobrol tentang kejadian tadi siang, bukan siding skripsinya Mat Bensin tentunya, dilihat dari sorot matanya, Yuki sedang curhat tentang gadis “si penjual roti” yang sedang PKL dikampusnya. Dan aku harap Yuki tidak lagi jingkrak-jingkrakan di tempat tahlilan nanti.

Sesampainya di rumah duka, aku langsung saja duduk persis disampingnya Mas Rosyid –mahasiswa tingkat tinggi di pesantrenku, yang sudah hapal ratusan doa-, dia nampak terlihat calm dan berwibawa. Dari kejauhan, aku melihat bu Jojon beserta 3 putrinya terlihat masih menyimpan luapan tangis, matanya masih terlihat sembab dan rona wajahnya memerah. Melihat pemandangan keluarga pak Jojon ini, aku teringat dengan kejadian serupa yang menimpaku 5 bulan silam.

***

Ketika itu hari Sabtu tanggal 12 Rabiul tsani, aku mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ku duga, sesuatu yang tak pernah kutakutkan, tak sedikitpun terbesit, tak sekejap pun terlintas bahwa aku akan mengalaminya, seperti petir di siang bolong, seperti hujan badai di tengah sahara, aku yang selalu tampak ceria, ketika hari itu, air mataku terpaksa menetes.

Pagi hari setelah dirosah pada hari itu, aku berbincang dengan Bawo –mahasiswa perikanan asal Tuban- beserta Ust. Abdulah –guru ngajiku lulusan Gontor yang berasal dari Blitar-, beliau menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika mondok di Gontor Dulu, lantas ketika suatu hari beliau mendapatkan telepon via petugas pondok (Gontor) yang mengabarkan bahwa beliau harus segera pulang, ketika tiba di rumahnya, beliau telah mendapati ayah tercintanya sudah berpulang untuk selama-lamanya, alangkah sedihnya beliau pada saat itu, “itu musibah sekaligus cobaan kepada saya waktu itu, apakah saya akan lanjut mondok atau pulang, dan saya berkeyakinan untuk terus belajar di pondok sambil berjualan buku di toko milik pesantren ” kenangnya kepadaku dan Bawo.

Aku merasa terharu sekaligus salut kepada guruku itu, beliau bisa bertahan ketika suratan takdir sejenak tidak berpihak kepadanya.

Kemudian selepas obrolan tadi, aku dan Bawo pamit, Bawo langsung pergi ke dapur untuk sarapan sedangkan aku terlebih dahulu masuk kamar untuk menyimpan buku dan ganti pakaian. Tibanya di dapur,aku bertemu dengan Arham –saudaraku yang juga kuliah dan mondok disini-, dia memintaku untuk menemuinya di kamar setelah aku selesai sarapan nanti.

Lalu setelah makan –tepat pukul 7 pagi-, aku langsung pergi menemui saudaraku tadi, terus terang aku tidak mempunyai firasat apapun, namun ketika aku tidur semalam, aku bermimpi naik pesawat terbang.

“Dul, saya sudah belikan kamu tiket” tukasnya sambil memberi tiket Garuda
”lho? Emang siapa yang mau pulang” kataku heran
”sekarang, kamu lebih baik pulang dulu, tadi pagi amang dapat telepon bapakmu dirawat di RS” terangnya kepadaku
”yang bener ah, kemaren masih SMSan” jawabku heran
”sekarang pergi mandi sana, nanti dianter ke bandara” katanya singkat sambil mengambi peralatan mandi.

Aku pun pergi bersama dengan mas Yasik, mas Odang dan tentu mang Arham yang akan mengantarkanku ke Bandara Juanda Surabaya, aku sebenarnya masih bingung, kenapa tiba-tiba aku disuruh pulang, aku terus bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini, beberapa SMS masuk di hape, yang menyatakan duka cita, lalu pacarku ketika itu,jua meneleponku menanyakan keadaan dan posisiku sekarang dan di akhir telepon dia berucap ”yang sabar ya sayang, mungkin Tuhan punya rencana lain buat kamu”, sebelumnya aku coba menghubungi rumah dan hape saudaraku, tidak ada jawaban. Semua seolah bungkam, semua seolah sedang bersandiwara kepadaku

Setibanya di Bandara Soekano-hatta Cengkareng, setelah terbang selama 80 menit di udara dari Surabaya-Jakarta, akhirnya aku bertemu mang Herman dan Pak Kumis yang menjemputku di bandara, tanpa banyak kata mereka langsung membawaku pergi meninggalkan bandara menuju kota kecilku.

Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam lamanya, akhirnya aku tiba di kota kecilku, aku lantas dibawa ke kampung Sirojul Banat –kampun kelurga bapakku- disana sudah berkumpul ribuan masyarakat yang sedang menunggu kedatangan seseorang. Lalu aku pun di bawa ke rumah Kang Endin –sesepuh kampung yang juga kakekku-, kemudian beliau berkata ”Dul, kamu harus sabar, karena orang sabar disayang Allah SWT, tadi pagi bapakmu sudah pergi menghadapNya” jelasnya, seketika itu tangisku pecah, aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya, ”sudah, jangan nangis!!!! Kanjeng nabi juga Dulu di tinggal ayah-ibunya, ketika beliau berumur 6 tahun, udah sekarang kamu wudlu dan kita sholatkan bersama-sama, diluar sudah banyak masyarakat yang menunggu kedatanganmu” bujuknya sambil mengangkat tubuhku yang lemas.

Tiba di rumah duka, aku melihat ada seorang lelaki tua yang sudah terbujur kaku, kain putih nan bersih menutupi seluruh jengkal tubuhnya, disampingnya ada beberapa santri yang sedang membaca surat Yasin, dia seolah tersenyum kepadaku, wajahnya bersih dan wangi lantas aku menghampirinya dan tak segan kuciumi keningnya untuk terakhir kali. Ya untuk terakhir kali, aku mencium kening lelaki tua itu; yang tak lain adalah bapakku.

Lamunanku seketika terhenti, ketika Mas Rosyid yang duduk persis di sampingku mulai membacakan surat Yasin untuk mendiang pak Jojon.


*******************************


teriring tangis keluarga tercinta
kuantarkan dirimu
ke tempat abadi kita semua
ke tempat tak berujung
menghadap kehadirat Illahi
 inilah peristirahatan terakhirmu
bukan rumah seharga uang miliyar
bukan rumah vila di puncak gunung
melainkan rumah keabadian
yang tak berpintu dan berjendela
dan aku pun, tak dapat temani jasadmu lagi
maafkan aku..!
hanya sampai disini
aku berjanji untukmu
bahagiakan istri dan anakmu.

PERBAIKAN GIZI

Sepulangnya dari menonton ujian skripsi Mat Bensin dan juga beli roti, Yuki bukan kepalang girangnya, dia seperti menenukan kembali repihan hatinya yang hilang 4 tahun yang lalu dan ketika dia mendapatkan nomor hape si penjual roti tadi, dia seperti orang yang baru menang lotre, jingkrak-jingkrakan kesana kemari. Nomer hape si penjual roti tadi, aku dapat dari manajernya ”kedai roti gosong manis” yang kebetulan teman sekampungku;

”Ayu Violet namanya tapi orang-orang disini biasa memanggil dia; Vio” tutur Fatimah.
”Fat, makasih ya, nanti puasa kita pulang bareng lagi” seruku kepada Fatimah
”oia Dul, sama-sama, nanti janjian aja ya” jawab Fatimah halus

Disampingku Yuki masih saja ketawa-ketawi sendirian.

”Yuk, kamu seneng banget ya!, sampai lupa ucapin terima kasih sama Fatimah” tanyaku kepada Yuki yang masih saja mesam-mesem
”yo tadi kan awakmu wis ngucapno suwun” jawabnya santai
”udah donk, Yuk! Malu tuh diliatin banyak orang” cegahku
”ora opo-opo” cetusnya
”mending sekarang kita kasih selamat dulu ke Mat Bensin, tadi Muladi SMS katanya dia udah keluar dari ruang eksekusi” saranku mencegah Yuki yang semakin gak karuan
”oia, Mat Bensin wis metu ta, ayo merono” Yuki pun beranjak pergi dari tingkah gilanya. Nampak dari kejauhan, Ikbal dan Muladi sudah berkerumun dengan Mat Bensin.

Setelah itu, kami beranjak pergi ke suatu tempat menuju Jl. Soekarnohata, tepatnya di kedai ”Bakso GOOOng”, kami ditraktir Mat Bensin sepuasnya makan bakso di kedai ini karena acara syukuran kecil Mat Bensin lulus sidang skripsi dengan predikat B,”Alhamdullilah, ayo rek, makan sak puase ” ajak Mat Bensin. Kami pun tak segan memesan beberapa butir bakso dan jeroan untuk kami santap sepuasnya. ”huh, uenake bakso iki, sering-sering ae arek-arek sidang skripsi” seru Ikbal –mahasiswa asal Gresik yang juga masih bersaudara dengan Mat Bensin- yang begitu menikmati.

Dan kami pun beranjak pulang menuju pondok kami, setelah puas makan bakso. Sesampainya di kamar mataku langsung saja terpejam, rupanya sudah letik seharian ini beraktivitas ditambah makan bakso Gong yang super enak dan mengenyangkan, hitung-hitung perbaikan gizi. Kenapa aku katakan perbaikan gizi? Begini ceritanya, sebenarnya di pondok kami sudah disediakan makan untuk para santrinya di dapur 3 kali sehari, namun harga memang tidak bisa berbohong. Bayangkan saja, di pondok kami –Al-Ghozali- setiap santri hanya dipungut biaya bulanan sebesar Rp. 300.000,- saja! Uang itu sudah termasuk untuk bayar dirosah (pengajian) kamar, listrik dan air sepuasnya ditambah makan 3 kali tentunya dengan nemu ala kadarnya, jadi sangat wajar bila ku katakan makan siangku tadi adalah perbaikan gizi.

Sore hari setelah bangun dari tidur siangku, aku lantas mandi dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah shalat Magrib, kemudian setelah itu tentu saja dirosah, shalat berjama’ah Isya dan makan di dapur. Ketika aku sedang mengantri di depan kamar mandi, nampak Sukadi –mahasiswa asal Jombang yang juga takmir mesjid di pondok kami, dia juga dikenal punya 100 jurus menaklukan wanita- sedang bingung, rupanya dia sibuk mencari santri yang akan dia ajak tahlilan.

”Suk, ada apa? Kok mondar-mandir gitu?” tanyaku kepada Sukadi yang dari tadi mondar-mandir
”iki lho aku gole wong, awakmu duwe acara gak engko bengi?” tanyanya
”gak ada, emang mau ada apa?” jawabku lantas aku balik bertanya
”yo melu aku tahlilan di omahe Pak Jojon, tadi isuk wonge tilar” terangnya
”innalillahi wa innailaihi rojiun” jawabku ketika mendengar Pak Jojon telah meninggal dunia tadi pagi
”yo opo melu ga?” tegasnya
”ya, aku mau ikut” jawabku
”lek ngono, engko bengi ngumpul di ngarep mesjid mari shalat Isya” jelasnya
”okeh deh” kataku singkat saja
”saiki berarti golek 2 wong maneh, sopo yo?” dia nampak kebingungan
”ajak aja Yuki sama Muladi, InsyaAllah mereka mau ikut” saranku
”oia, matur suwun yo, Dul! Ojo lali engko bengi perbaikan gizi” katanya sambil pamit meninggalkanku yang masih ngantri didepan kamar mandi.

ROTI MANIS

Seiring arah putaran jarum jam, kami –ijo lumut cs- berlalu pergi meninggalkan keramaian rental playstation menelusuri kesunyian kota Malang yang indah nan asri, disekelilingnya bertebaran lampu-lampu yang menyala maya seakan menggoda kami untuk mengulanginya minggu depan, tak ketinggalan rembulan dengan malu-malu mengintip dari tebalnya langit malam dan bintang-bintang turut berbinar menerangi langit yang kian kelam, begitu indah waktu yang kuhabiskan selama di kota ini, sungguh kenangan yang terlalu manis untuk dilupakan.

Tiba di pelataran Jl. Ceker Ayam, tepat jam 11.30 WIB. Nampak beberapa santri sedang sibuk melaksanakan tugas jaga malam –tugas wajib bagi setiap penghuni kamar di Al-Ghozali untuk bergiliran menjaga ketertiban lingkungan ketika malam tiba- namun ada sedikit ralat, sebenarnya tidak pantas juga menyebutnya jaga malam, karena mereka tak ubahnya seperti pindah tidur saja.

”cak, teko ndi ae, bengi-bengi ngene?” tanya Ali mengintrogasi kami, salah seorang mahasiswa senior asli Jawa Tengah yang menjabat sebagai ketua DPO (dewan Pencarian Orang)
”aku mari ngerjakno tugas ambe Jali soale ono penelitian mahasiswa stress di kampus” jawab Simon, mahasiswa Psikologi asli Malang yang memiliki perawakan nyaris seperti bo**ng sekujur tubuhnya.
”klo saya baru selesai rapat OSIS, eh salah rapat BEM, tuh bareng Azim” jawabku sambil menunjuk ke arah Azim
Akhirnya kami pun selesai di interogasi dan dipersilakan masuk kamar, namun Yuki dan Muladi masih berada di belakang kami.
”teko ndi, cak?” tanya Ali, kembali mengintrogasi Yuki dan Muladi
”aku baru selesai main PS bareng Yuki dan teman-teman yang sudah Duluan tadi, mas” dengan polos dan jujurnya Muladi menjawab, dan akhirnya kami pun di panggil kembali dan tentu saja kena takzir.

****************

Di dalam kamar, aku menyaksikan teman sekamarku Mat Bensin sedang giat belajar, padahal malam-malam sebelumnya sebelum jam 10 malam dia sudah terlelap tidur terlentang di kasurnya yang dipenuhi tinggi namun malam ini, aku mendapati pemandangan yang berbeda, Mat Bensin begitu teman-temanku memanggilnya dengan perwakannya yang tambun, dia dikenal sebagai orang yang murah senyum dan lucu. Sebenarnya nama aslinya Ahmad Mu’zijat Failudin, seorang mahasiswa Gresik yang terkena efek sinetron Bajaj Bajuri, hingga dia pun dijuluki Mat Bensin.

”Mat, tumben udah tengah malam gini kamu belum ngorok?” tanyaku memecah kosentrasu belajarnya.
”eh Dul, teko ndi awakmu bengi-bengi?, aku arep sidang skripsi sabtu iki, awakmu iso teko gak? Jawabnya sambil melemparkan senyumnya yang khas
”iya InsyaAllah aku dateng, kebetulan sabtu ini gak ada acara” jawabku sambil meletakkan helmnya zakaria –mahasiswa asal Banyuwangi yang katanya aktivis sebuah organisasi kemahasiswaan di kampusnya.
”bukane emang tiap sabtu awakmu memang gak duwe kegiatan” protesnya
”hehehhe... tau aaja!” jawabku simpel
”dasar kamu Jomblo!” pekik Yuki yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.

********************

Hari sabtu pun tiba, nampak Mat Bensin sudah terlihat rapi dengan baju putihnya sebelum subuh, bahkan ketika di bangunkan Pak Kodir pun –ustadz kami yang paling hobi ganggu orang tidur waktu subuh tiba- dia sudah terbangun, padahal setiap subuh, dia seperti sebuah batu yang sangat sulit sekali bangun tidur.

Pada pagi itu, aku bertugas membantu Mat Bensin untuk mengambil dan mempersiapkan kue untuk para dosennya, nampak terlihat keringat dingin menetes di wajahnya, walau begitu dia (Mat Bensin) mencoba tetap tersenyum seperti biasa. Ketika saatnya tiba, para profesor botaknya mulai memasuki ruangan, artinya sebentar lagi Mat Bensin akan segera di eksekusi dengan tumpukan tugas akhirnya.

Sementara kami menunggu Mat Bensin yang sedang dieksekusi, Muladi dan Yuki –yang memang juga mahasiswa setempat- mengajakku jalan-jalan keliling kampunya, ”siapa ngerti nemu pacar disini” seru Muladi, Mahasiswa asal Indramayu yang terkenal jago beretrorika. Tidak jauh dari situ, kami bertemu beberapa anak sekolah yang rupanya sedang PKL di kampus ini, mereka menjual roti-roti hasil pangan dan memasarkannya.

”blo, tuku roti yuk!” ajak Yuki sambil menunjuk kedai roti
”gak ah, aku gak laper” jawabku
”ayolah, deloken, akeh arek ”abu-abu” sekolah yang jualnya”bujuk Yuki setengah memaksa
”ayolah, tapi aku gak beli ya” jawabku
”mblo, sing jagane ayu tenan” matanya tidak berkedip memandangi slah seorang dari mereka –penjaga kedai-
”ealah, kamu mau beli roti apa mau liatin yang jual” protesku
”udah kita kesana aja” ajak Muladi yang dari tadi SMSan
Kami pun berjalan menuju kedai roti, yang terpampang bernama ”Roti Gosong Manis” yang berada di salah satu kantin jurusan di kampus itu.
”permisi mbak, ada roti apa aja disini” tanya Yuki kepada salah satu penjual yang memakai kerudung berwarna putih dengan pita kupu-kupu di dadanya
”banyak mas, ada roti keju bakar, roti singkong bakar, roti bakso bakar dll” jawab si penjual tadi sambil tersenyum manis.
”kalo roti manis bakar?” tanya Yuki menanyakan rasa yang lainnya
”aku!” jawab si penjual dengan senyum menggoda.

Dan kami pun saling berpandangan satu sama lain.

IJO LUMUT


Menjelang magrib, suasana di pondokku sudah ramai lantunan pujia-pujian shalawatan di mesjid, bertanda adzan magrib akan segera berkumandang guna memanggil para santri berjama’ah sholat magrib, dan setelah itu tentu saja I.S.T.I.G.O.S.A.H ...! tentu saja dengan lakon tetapnya Ust. Mudakir, yang telah sangat lihai dan cekatan dalam memimpin istigosah ini.

Terus terang, ketiks aku pertama kali berada di pesantren ini, aku kaget ketika ada salah satu santri senior yang menggedor-gedor pintu kamarku.
”cak, ayo melu istigosah, ojo turu ae, wis di enteni Ust. Mudakir iku” bentaknya
”emang istigosah buat apa, mas? Tanyaku
”yo, dikene wis rutin, malem rebo iku istigosah buat kelancaran urusan kita” terangnya
”owh gitu ya, setahuku istigosah itu do’a untuk meminta hujan, mas” jawabku polos

Maka ketika waktu itulah aku menjadi tahu apa itu istigosah –bukan do’a buat minta hujan- yang mempunyai komposisi tetap sebaagai berikut:
1. mesjid ; sebagai tempat penyelenggaranya
2. malam rabu ; sebagai waktu keramat istigosah
3. Ust. Mudakir ; sebagai pembaca keramat do’a istigosah
4. gorengan ; sebagai hidangan keramat setelah istigosah

Sesampainya di warung Mak Piah, ternyata gerombolan Ijo Lumut Cs beserta motor-motornya yang lolos dari kawalan aparat pondok, ”luarrrrr biasa!!!” pekikku, seperti diketahui wajah penjaga pondok atau keamanan pondok sangat amat menyeramkan, mungkin melebihi keangkeran wajah Malaikat Malik –sang penjaga neraka-, serraaaam!.

Setelah kesepakatan tercapai, ada 7 orang yang bereksodus berjama’ah dengan jumlah 4 motor, berarti ada 1 motor saja yang tidak mempunyai boncengan, dia adalah Mbah Neje, sebenarnya namanya Dudin Setiawan, mahasiswa asal Lumajang yang hoby merawat jenggotnya, disamping mempunyai jumlah jenggot yang lebat, dia juga jarang mencuci rambutnya (jarang keramas) hingga di julukilah dia Mbah Naga.

Dari kesemua anggota Ijo Lumut –ikatan jomblo imut- sepakat bahwa rute yang akan ditempuh selama elsodus malam rabu ini adalah: shalat magrib di mesjib Al-taubah di Jl. Veteran, lalu jalan-jalan ke pusat perbelanjaan didekat sana kemudian nongkrong sambil makan malam dan ngopi di Jl.Soekarno hata kemudian ke rental playstation.

”rek, mari ngini deloki tim idolaku pasti menang” pekik Jali sambil memamerkan baju kebesaran tim kesayangannya Manchester United
”oalah yo sek kalah karo tim kesayanganku,AC Milan” protes Yuki dan Muladi yang sama-sama menjagokan AC Milan, keduanya memang selalu tampak akur bahkan tak jarang teman-teman mengiranya saudara kandung –walau beda kulit dan asal daerah-
”klo aku yang tetep istiqomah sama jagoanku, AS Roma” sambungku
”hahaha, tim koyok ngono ae di banggano” cela Simon
”deloki, timku Chievo –tim seri A Italia,penghuni jurang degradasi- ” sambungnya
”ya masih bagus timku, ada Francesco Totti nya, lha Chievo paling musim ini juga degradasi” balasku kepada Simon.
”weits, yo opo seh, Milan, Roma, MU, opo maneh Chievo lewat sama jagoanku, Inter Milan” protes Azim sambil memperlihatkan gantungan kuncinya yang berlogo IMFC –Inter Milan Football Cengeng-
”yo wis, saiki ayo ndang budal nang rental ae, buktino sopo sing lewih jago” sambung Mbah Neje dengan nada bijak melerai debat kusir kami.

Hari ini, aku dinaungi dewi fortuna kesebelasan kebanggaanku selalu menang, lawan Azim dengan Internya, aku menang dengan skor 3-2, lawan Jali dengan Munya, aku juga menang dengan skor 2-1, dengan Muladi 1-0, dengan Yuki 2-2 dan dengan Simon 5-1.

Aku pun juara PS se-geng Ijo Lumut!!!!!!!!!!!!!!!!!!

MALAM RABU


Sesampainya di pondok, aku langsung saja merebahkan diri, menikmati aktivitasku hari ini yang sangat melelahkan. Tak terasa sudah malam rabu lagi, nanti malam dipastikan keadaan pesantren Al-Ghozali –berlokasi di Jl. Ceker Ayam- yang biasanya ramai, akan seketika sepi karena akan mengalami eksodus besar-besaran para santrinya, maksunya tentu bukan pindah/ keluar dari pondok untuk selamanya, melainkan pada malam keramat ini, mereka senantiasa mencari kesibukan masing-masing di luar pondok; ada yang memang benar mengerjakan tugas kuliah, rapat-rapat BEM dan ada juga yang rapet-rapetan (ehm... maaf di sensor, bagi para jomblo).

Pada malam rabu ini, memang di pondok kami tidak ada kegiatan dirosah atau pengajian kepengasuhan, tetapi dirubah ke dalam format do’a istigosah. Kata I.S.T.I.G.O.S.A.H sangat identik sekali dengan Ust. Mudakir, guru kami yang ”hoby” membaca do’a istigosah di pesantren kami, sehingga mendapatkan julukan Bapak Istigosah Al-Ghozali.

Tiba-tiba, Yuki datang ke kamarku –Yuki ini adalah mahasiswa asal Madura, namun perawakan dan kulitnya tidak seperti orang Madura kebanyakan, dia berkulit bersih dan agak putih (ehm...bukan rasis), dia juga ngefans banget sama Ricardo Kaka, pemain AC Milan asal Brazil, dan Yuki adalah salah satu temanku yang mengidap penyakit jomblo akut-, rupanya Yuki mengajakku untuk eksodus pada malam Rabu ini.

”Blo, ayo budal engko sore, ngopi karo arek-arek” ajaknya
”waduh, aku lagi gak punya duit, coi”
”walah, aku wis sing traktir”
”beneran nih, emang siapa aja yang mau ikut?”
”akeh wis, ono Mbah Neje, Simon, Jali, Azim terus karo muladi”
”owh..Pak mul –muladi- ikut juga ya?”
”yo mesti ae, dia kan pimpinan republik jomblo disini”
”Okeh deh aku ikut”
”yo wis, engko sore marine bal-balan, enteni di warunge Mak Piah”. Jelasnya.

Belum sempat memejamkan mata, tiba-tiba Hape bututku berdering, rupanya ada SMS masuk dari orang rumah.

”Dul, barusan udah ditransfer uang Rp. 400 ribu ke rekeningmu buat bulan ini” begitu isinya, SMS yang ku tunggu sejak awal bulan yang lalu.
”Alhamdulillah” jawabku.

JEMBATAN GANTUNG

Selepas keluar dari ruangan kelas mata kuliah PKn, hatiku luar biasa bahagianya, bunga-bunga yang dulu layu kini telah mekar kembali, begitu wangi dan indah!, sunguh pesona yang tak tergambarkan selama ini, ya selama aku menyandang status sendiriku sebagai mahasiswa rantau yang terdampar. Perasaan itu hilang sejak tahun lalu, ketika seseorang yang ku cintai pergi begitu saja; cinta SMA yang bertahan 2 tahun 7 bulan itu kini tinggal kenangan, tak ada yang mau disalahkan; karena ruang dan waktu yang mungkin sudah tidak memungkinkan.

Hingga suatu ketika seorang teman sekamarku, yang bernama Zakaria –mahasiswa asal banyuwangi- yang menjulukiku ”the crying baby”, namun pada detik ini duniaku telah berubah, 180 derajat!.

Sesampainya di lantai nanggung –antara lantai 3 dan 4 -, aku bertemu Paijo mahasiswa asal Mataram, Nusa Tenggara yang sejak di kelas tadi sudah ku SMS.

”Jo, kamu kuliah khan hari ini?” Begitu isi SMSku
”iya, aku kuliah Grammar hari ini, ada apa Dul?” jawab Paijo
”kita ketemu di lantai nanggung terus pulangnya kita lewat jembatan gantung” sambungku.
”okeh dech”. Balasnya singkat.

Kami bertemu di lantai itu, lantai naggung yang ramai, begitu banyak mahasiswa berkumpul disini, ada yang memang sedang mengerjakan tugas kuliahnya, sebagian lagi ada yang nunggu giliran kuliah dan ada juga yang memang sedang ” cuci mata”, memang benar di lantai ini banyak sekali mahasiswa yang masih ”terasa segar”, mungkin karena masih pagi.

”jo, aku tadi kenalan sama cewek cantik!” aku mencoba memecahkan suasana
”walah bener ta, Dul?” tanyanya sambil melototkan kedua matanya ke arahku
”iyalah, tadi ketemu di kelas PKn, dia adik tingkat kita” sambungku
”emang kamu udah berani kenalan sama cewek ta?” kembali dia mengintrogasi
”hahahah, tadi aku juga di kenalin Indro, kebetulan dia juga ngulang PKn” sambungku
”Owh, pantes! Klo kamu sendiri, ku yakin kamu gak bakal berani” tanyanya sambil menbetulkan letak kacamatanya
”sialan kau, jo!” gumamku
”emang siapa namanya, Dul?” kembali mahasiswa setengah gaul ini bertanya.
”hahahah, penasaran juga rupanya, namanya Dian Ayu Maharani, dia mahasiswi asal Mojokerto, dia manis, berkulit putih dan berkacamata” jelasku, dan Paijo pun semakin penasaran.
”wah boleh tuh sesekali kenalin aku!” pintanya
”weh enak aja!, makannya jangan mocking aku mahasiswa gak bermoral dung, nah sekarang baru keliatan berkahnya”. Protesku
”iya deh, sekarang kita jalankan misi kita di jembatan gantung, mumpung masih pagi” ajaknya, sambil berdiri menyandang tas bututnya.
”ayo... !” jawabku

Dan kami pun berjalan menuju lokasi ”eksekusi” jembatan gantung, seperti hari-hari sebelumnya, kami memang tergolong mahasiswa yang agak jail karena hampir setiap kali pulang kuliah, kami sengaja bermain di tempat ini, mengoyang-goyangkan jembatan yang terbentang di pinggrian sungai Berantas yang menghubungkan jalan kampung menuju kampus hingga suatu ketika kelakuan kami di laporkan seorang mahasiswi kepada seorang dosen karena dia ketakutan dan ngompol dicelana, dan kami pun di hukum untuk membersihkan toilet kampus yang berjumlah 18 toilet.

Setelah menjalankan ”tugas” kami tadi, kami pun bergegas pulang atau lebih tepatnya kabur karena kami kepergok satpam kampus, numun akhirnya kami berhasil lari dari kejaran satpam gendut itu.

”huh lega!, untung bisa lari, coba klo ketangkep kayak kemaren, bisa-bisa tugas cleaning service selama seminggu kita yang ngerjain” tukasku sambil berlari menuju pelatan ”si mobil biru” atau angkot.
”iya Dul, AlhamDulillah kita selamet” sambung Paijo yang banyak mengeluarkan keringat.

Ketika kami menuju pelataran si mobil biru, tiba-tiba ada motor yang menghampiriku, dengan ramah dia mengajakku bareng.

”woi Dul, arep mulih ta?, ayo bareng karo aku” ajak Azim –mahasiswa hukum asal Sidoarjo, yang kebetulan tinggal satu atap bareng aku, pastinya di pesantren Al-Ghozali, Azim ini adalah anak juragan beras di kotanya, pernah waktu itu aku bertandang ke rumahnya, hampir tiap 2 jam sekali aku ditawari makan, maklumlah anak juragan beras.

” Zim, wah kebetulan dung, tapi aku gak bawa helm” jawabku
”nih kebetulan ku bawa 2, tadi kebetulan pulang nganter mbak ku” jelasnya
”Okeh deh” tukasku
” Jo, aku pulang Duluan, assalamua’alaikum” pamitku kepada Paijo
”oyi, wa’alaikum salam” jawabnya
Di perjalanan menuju pondok, aku bergumam dalam hati ”wah senengnya hari ini, aku bisa hemat uang gocengku”.

BERKAH MATA KULIAH PKn

Di perjalanan menuju kampus, aku iseng-iseng bertanya kepada Zuki, ya sebagai tanda terima kasih atau lebih buruknya basa-basi.

”Zuk, kamu nanti kuliah sampai jam berapa?”
”kuliahku sih cuma siji, tapi mari kuliah aku arep jemput adikku”
”adikmu yang mana?, emang adikmu kuliah disini juga ta?
”heheheh, dudu, tapi adik ketemu gede”.
”oalah, ku kira adik kandungmu”
”lho, awakmu yo opo,Dul? Wis duwe pacar ta?”
“belum zuk, masih seleksi”
“ealah, ket biyen kok seleksi thok, kapan entu ne”
”klo aku prinsipnya, koleksi-seleksi-resepsi”
”mari ngono reproduksi yo”
”hahahha, bisa aja kamu, zuk”

Akhirnya kami sampai di kampus tercinta, tepatnya di belakang kampus karena jalur yang kami lalui memang berada di belakang kampus, jalur yang sangat aman untuk pengendara motor yang tidak memakai helm.

”oke Zuk, terima kasih ya!”
”yo podo-podo”
”lain kali aku numpang lagi, yuk aku kuliah dulu, Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikum salam” jawabnya.

Hari ini adalah minggu kedua aku ngulang mata kuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), mata kuliah ini sebenarnya sudah aku ambil sewaktu semester II, namun waktu ini aku cuma dapat nilai C, ini bukan gara-gara aku jarang masuk, melainkan pada waktu itu, aku berselisih pendapat dengan dosenku.

”anak-anak, apa pendapatmu tentang euthanasia atau suntuk mati?” tanya dosen.
“saya rasa boleh-boleh saja, pak” jawabku
“alasannya?”
“bila si pasien dipaksakan terus untuk hidup sednagkan beban keluarga semakin besar, lebih baik dipakai cara tersebut untuk meringankan beban keluarga si pasien”
“wah, memangnya kamu yang punya nyawa, seenaknya saja membunuh orang?” sanggah dosen tersebut sambil memutar-mutar pulpen Boxy-nya.
“ini pendapat saya, saya pikir lebih baik memberikan peluang untuk yang lainnya untuk hidup daripada menutup kesempatan rapat-rapat diantara keduanya” jawabku dengan tenang, dari kejauhan kuamati teman-teman kelasku nampak tidak setuju akan pendapatku ini.
“hidup dan rezeki itu milik Tuhan, kita Cuma butuh untuk menjaganya, ada baiknya kamu mengulang mata kuliah ini di semester depan kalau masih berpendapat tak bermoral seperti itu” kata-kata dosen itu meluncur deras di telingaku tanpa sempat aku menyampaikan pendapatku lagi.

Nah sejak itulah banyak temanku yang ngeledek aku ”huh, dasar mahasiswa gak bermoral, masa PKn aja dapet C”, tapi ocehan itu aku anggap sebagai angin lalu maklum guyon ala teman-temanku emang seperti itu tadi.

Sesampainya di kelas ternyata dosennya sudah datang, dan ketika aku terlambat, -ini gara-gara waktu dibonceng tadi, ban motor Zuki kempes dan kami pun terpaksa nunggu dulu selama 15 menit- namun kejadian pagi ini sungguh sangat indah karena aku terlambat bareng dengan adik kelasku, ”parasnya cantik!”

”ayo mas, silakan duluan!” pintanya
”waduh, mas juga deg-degan nih” jawabku
Lalu akupun memberanikan diri untuk mengetuk pintu, tentunya dengan jantung yang kembang-kempis”
”tok..tok..tok... assalamu’alaikum”
”oia, silakan masuk mas!” jawab dosenku

Akhirnya akupun bisa mengikuti kuliah pagi ini, untuk memperbaiki nilaiku yang C dan sebagai upaya untuk memperbaiki citraku yang di anggap ”tak bermoral”, sewaktu aku mengikuti kuliah, aku berbisik kepada temanku Indro, yang kebetulan sama-sama tidak bermoralnya –Indro ini adalah mahasiswa asal Banyuwangi-.

”ndro, cewek yang bareng masuk sama aku tadi, cantik ya” bisikku
”yo jelaslah, ancene die bunga kelas iki”
”emang kamu udah kenal?
”yo wislah”
”ndro, bantu aku buat kenalan sama dia donk”
”yo, emang awakmu ora wani ta?”
”heheheh, gak berani”
”yo wis engko mari kuliah ku bantu”
”alhamDulillah”

Dan aku pun dapat mengikuti kuliah dengan tenang tapi deg-degan, karena setelah keluar kuliah nanti aku bakal kenalan sama cewek tadi. Setelah kuliah selesai, Indro menyuruhku untuk keluar duluan dan nunggu di pintu sampai dia keluar.

”heh Dul, iki lho areke” kata Indro
“hai, hmmmmmmm….. namamu siapa?” tanyaku dengan deg-degan
”namaku Dian, mas” jawabnya.
Dan setelah itu, aku pun salah tingkah.

***************************


petuah malu

petuah malu
hanya milikku saja,
hasrat menggebu
memanah sebentuk hati
untuk di dekati
tapi petuah malu
tak kuasa lepaskan segala

RUTINITAS

Dengan bermodal uang goceng, aku nekat pergi ke kampus; ada kuliah Listening pagi ini, namun tak lupa sebelum pergi, aku terlebih dahulu mampir ke warung Mak Piah, harapku semoga disana ada teman-teman yang sedang ngopi, lumayanlah buat ganjal perut; malak gorengan dan nyeruput kopi.

Dengan langkah tergesa aku bergegas menuju warung mak Piah, ternyata benar saja, disana ada si Jono yang sedang asik ngopi sambil menghisap Djarum, maklum diantara temen-temenku yang lain, dialah yang paling bermodal, si Jono adalah mahasiswa yang berbadan tambun asal Pasuruan yang nyasar kuliah di Malang, selain dia anak pejabat setempat dia juga terkenal dengan joke-joke nya yang segar hingga teman-temanku memberi julukan “Kartolo” kepadanya.

“Jon, aku minta gorengannya satu” pintaku sambil mengambil menjes
“yo wis,njupuk’o dewe, Dul, arep nangendhi awakmu?” dengan dialek jawa medoknya
“aku mau berangkat ke kampus, ada kuliah nanti jam 7” jawabku
“awakmu iki piye to, moso arep nang kampus ora adhus sek, yo pantes ae, wis semester limo ora payu-payu”

Tanpa mempedulikan ocehan si Jono, aku bergegas lari menuju kampus, karena jam diponselku menunjukan angka 6.35, sedangkan perjalanan ke kampusku dengan angkot saja membutuhkan waktu 30 menit, belum lagi kalau angkotnya kosong dan terpaksa ngetem dulu di pangkalan. “huh.. alamat jadi satpam kelas”. Tapi bila ditempuh dengan menggunakan sepeda motor, waktu yang ditempuh hanya separuhnya.

Aku pun terus memutar otak bagamaina caranya agar bisa sampai kampus tepat waktu dan tidak disangka, ketika aku hendak keluar warung Mak Piah, dari kejauhan ku lihat Zuki sedang menaiki sepeda motornya, tanpa ragu aku pun berteriak “Zuk, aku ikut nebeng ke kampus yo”. Zuki pun melambaikan tangannya, tanpa pikir panjang aku bergegas ke arah Zuki. ”wah asik, hari ini aku bisa hemat Rp. 2000” gumamku dalam hati.
Zuki ini adalah teman sekampusku, mahasiswa asal Blitar yang dikaruniai wajah rupawan dan berkulit bersih, tetapi walau begitu dia tidak pernah sekalipun berani menduakan pacarnya padahal di luar sana banyak perempuan yang antri kepedanya, “klo aku jadi dia, mungkin dalam sebulan aku bisa ganti pacar 3 sampai 4 kali” protesku dalam hati.

Oia ada yang lupa, sebelumnya perkenalkan dulu namaku; Abdullah Omen gymnastiar, nama ini pemberian kedua orang tuaku, namun teman-temanku punya panggilan lain untuk memanggilku: ada yang panggil aku Adul, Omen bahkan ada juga yang memanggil aku Jomblo, untuk nama yang terakhir tadi, itu dikarenakan hingga semester lima ini, aku masih belum punya pacar, “maksudnya belum ada yang beruntung dapetin aku” belaku dalam hati.

Aku adalah mahasiswa rantau dari salah satu kota kecil di bagian barat pulau Jawa yang kebetulan nyasar kuliah disini kota ngalam (red Malang), memang diantara sekian temanku ada yang sempat heran juga dan bertanya, “lapo kuliah adhoh-adhoh nyang Malang, di Jakarta atau Bandung kan akeh”, ini pertanyaan yang paling membosankan untuk di jawab, sebenarnya aku pun tidak terlalu paham kenapa dulu mau kuliah disini. Lantas kujawab “ya, kepingin aja, biar bisa bahasa Jawa dan makan bakso Malang terus tiap har, hehehheh,,,”.

Inilah secuil rutinitasku, mahasiswa rantau yang terdampar. Di kota ini aku numpang disalah satu pesantren beken miliknya KH. Kholilullah, seorang kiyai terkenal di Indonesia. Maklum, karena nebeng di pesantren, aku pun punya kegiatan yang sangat padat, dari mulai bagun tidur jam 4 pagi kemudian dilanjutkan dengan dirosah agama sampai jam 6 pagi, setelah itu pergi ke kampus dan setelah pulang dari kampus aku ditunggu berjama’ah dan dirosah magrib sampai waktu isya, belum lagi bila ditambah dengan tugas kelompok, penelitian dan lainnya. ”huh, mana ada waktu buat mikirin yang lain” protesku.

Namun karena rutinitas inilah aku terlatih untuk mengatur waktu, ada pepatah yang mengatakan “possible things is usual, usual is forced” itu kalau bahasa orang bulenya, ala bisa karena biasa, ala biasa karena dipaksa. Kata-kata ini pertama kali kudengar dari seorang guru bahasa Inggrisku yang juga pamanku, sewaktu sekolah dulu.

***************

Tentang Penulis

Rivi Abdul Jabar, lahir 12 September 1986 di kota Sukabumi. Anak pertama dari empat bersaudara ini sejak kecil bersekolah di pesantren Tipar; dari mulai Raudhtul Athfal (TK) hingga Sekolah menengah Umum; pada masa kecil bercita-cita untuk sekolah ke jawa timur, dan setelah menyelesaikan MTs diajak bapak untuk melihat pesatren di Kediri namun ibu masih belum bisa memberi izin, dan setelah tamat SMU keinginan itu kembali muncul dan dipilihlah Universitas Muhammadiyah Malang dan pesantren mahasiswa Al-Hikam sebagai lemabaga pendidikan yang memisahkan anak dan orang tua ini.

Selama menjadi mahasiswa, aktif di berbagai organisasi, seperti ketua lingkungan bahasa Organisasi Santri Al-Hikam (2005-2006), ketua bidang advokasi Himpunan Mahasiswa Jurusan bahasa Inggris (2004-2005), wakil sekretaris umum PTKP Himpunan Mahasiswa Islam- komisariat FKIP (2005-2007), ketua bidang advokasi Senat Fakultas keguruan (2006-2007). Selain itu, pernah juga mengikuti Lomba karya tulis ilmiah tingkat propinsi jawa timur sebagai semifinalis (2007), dan dua kali mendapatkan hibah penulisan PKMM (2006) PKMK (2007). Beberapa tulisannya pernah nongkrong di harian surya dan Surabaya post.

Dan pada saat ini bekerja di SBI Madania, Parung Bogor. Untuk kontak lebih di dunia maya bisa di add vee_mandalawangi@yahoo.com.