Wednesday, August 10, 2011

Bedah buku ( XXXIV)


“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, rasa syukur marilah senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang Maha Pengasih yang telah memberi kita beribu-ribu nikmat hingga kita dapat berkumpul di tempat ini dan tak lupa pula shalawat beriring salam mari kita senantiasa agungkan kepada junjungan alam, yang telah membawa kita dari zaman onta ke zaman Toyota, dari zaman siti khodijah ke zaman siiti nurhaliza, dan walaupun dia tidak pernah ke Ciamis tapi namanya akan selalu manis, sang revolusioner sejati; Muhammad SAW” ucapku mengawali kata sambutan atas nama ketua pelaksana.

“yang saya hormati bapak Prof. Suyono selaku pembantu rektor III, kemudian kepada Prof. Hartoyo selaku pembanding dan yang tak lupa kepada pemateri yang juga penulis buku “pahlawan-pahlawan yang digugat” bang Eki, terima kasih atas kedatangan dan kehadirannya pada acara ini. Saya selaku ketua panitia menyampaikan beribu kata maaf bila jamuan atau tempatnya yang kurang nyaman dihati anda semua” ada perasaan miris didalam hatiku, ketika menyampaikan kata sambutan ini, karena tidak adanya bu Erna; selaku kepala perpusatakaan yang selama ini selalu mendikte kami, bahkan tak jarang mencaci ketika kami membuat suatu kesalahan kecil namun di waktu pelaksanaan acara, dia menghilang.

“adapun tujuan dari acara bedah buku dan pelatihan penulisan artikel ini tak lain adalah kami ingin mendekatkan kembali perpusatakaan dengan mahasiswa, bisa kita bandingkan kebiasaan para pelajar atau mahasiswa pada masa sekarang ini yang lebih senang untuk menghabiskan seluruh waktunya di Mall atau di rental dan yang kedua yaitu untuk mengimplementasiannya kepada media tulisan.waktu saya masih sekolah, saya beranggapan bahwa orang pintar adalah orang yang pandai dalam bidang matematika atau berhitung dan menginjak bangku kuliah anggapan itu berubah bahwa orang pintar adalah orang yang pandai berbicara atau berorasi dan ketika saya menginjak semester akhir ini, anggapan itu kembali berubah bahwa orang pintar adalah orang yang bisa menulis karena tidak ada mahasiswa yang bisa dikatakan lulus bila dia tidak mampu menulis skripsi” kataku sambil diiringi tepuk tangan hadirin yang berada di ruangan.

Acara dimulai dengan terlebih dahulu mengetengahkan acara bedah buku; adapun buku yang akan coba didiskusikan adalah sebuah buku fenomenal yang menjadi buah bibir masyarakat sekarang ini. Dari segi judul, buku ini sudah banyak mengundang tanda tanya dan sebuah keheranan “pahlawan-pahlawan yang digugat” adalah nama buku tersebut.

Ramai namun tertib, para peserta acara silih berganti bertanya dan memberikan komentar atas apa yang disampaikan penulis dan pembanding yaitu pak Prof. Hartojo. Ruangan perpustakaan lantai III yang bila hari biasa, adem ayem dan senyap; hari ini, situasi itu berubah 180 derajat menjadi lautan manusia. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa atau akademisi kampus saja, banyak juga masyarakat luar kampus yang berdatangan.

Sebenarnya, dulu kami –kami panitia- agak ragu untuk menyelenggarakan kegaiatan acara bedah buku dan pelatihan penulisan artikel ini, disamping dilaksanakan di perpustakaan yang menurut sebagian lain merupakan tempat yang “tidak enak” untuk disinggahi, buku dan pembicara pun bukan dari kalangan yang sedang ngetop, semisal: Andrea Hirata atau Habiburahman El-shirazy. Oleh karen alasan itu kami hanya menargetkan setikar 75 orang saja yang mungkin akan hadir, namun menjelang H-1, banyak permintaan yang ingin mengikuti acara ini; maka alangkah senangnya kami sebagai panitia.

********

Selepas acara usai, banyak peserta yang menghampiri pembicara; apakah itu dikarenakn ingin berdiskusi lebih dekat atau sekedar foto bareng dan meminta tanda tangan saja, suasana tampak riuh, dari kejauhan nampak Hamidi sang komando acra kewalahan menertibkan peserta, sementara Rudi, Nurawati dan Fitri diserang peserta yang mengantri untuk meminta jatah konsumsi dan di belakang mimbar acara, aku sebagai ketua panitia pelaksana juga dikerubuti para wartawan yang ingin mewawancaraiku; mulai dari wartawan lokal kampus maupun dari media masa regional jawa Timur.

“mas Adul, apa perasaan anda setelah selesainya acara ini?” tanya salah satu wartawan perempuan yang dikalungi identitas koran Surya.

“tentu saja, saya sangat senang karena acara ini dapat berjalan tanpa ada hambatan yang berarti” jawabku.

“Untuk output ke depannya, apakah akan ada sebuah kelompok khusus yang akan mewadahi tulis-menulis di perpustakaan ini?” tanya mereka lagi.

“pasti, kami menginginkan akan tumbuh penulis-penulis baru yang terlahir setelah acara ini, tidak muluk-muluk, kami ingin mereka punya kemauan untuk menulis dan dikirimkan ke media saja sudah bagus apalagi sampai dimuat dan menjadi penulis hebat, oleh karena itu, untuk mewadahi kegiatan tersebut pihak perpustakaan telah membuka semacam sanggar penulis dan buletin bulanan” jawabku sekenanya.

“lalu apa saja kesulitan anda dan kawan-kawan panitia ketika mempersiapkan acara ini, apakah ada ritual-ritual tertentu?” pertanyaan itu datang silih berganti, mulai dari berapa ongkos pematerinya, siapakah sebenarnya anda itu dan lain-lain. Namun ketika mendengar pertanyaan ini, seketika itu aku terungat dengan apa yang kami –panitia- lakukan sebelum acara ini.

Sebulan sebelum acara berlangsung, banyak sekali rintangan menghadang; mulai dari sponsorship yang belum pasti dan beberapa kejadian yang tidak bisa dikatakan remeh, seperti hilangnya helm Amir ketika menyebarkan brosur di alun-alun, kecelakaan jatuh dari pohon yang dialami Rudi ketika hendak memasang backdrop di perpustakaan umum kota Malang, pengorbanan si manis Yeni yang bersedia mengganti uang pendaftaran yang kena copet ketika akan menyetor uang di Bank dan masih banyak lagi. Dan hari ini adalah klimaks dari rentetan penderitaan yang berubah menjadi hasil yang sangat manis.

Khusus untuk aku sendiri, aku harus rela melupakan impianku untuk diwisuda pada akhir tahun ini.

****

Bang Eki; sang penulis buku manantangku ketika menemani dia selepas acara berlangsung untuk mengatakan terima kasih, dia pun berujar kepadaku “lain waktu, kamu tidak boleh hanya puas untuk menjadi ketua pelaksana bedah buku saja, tapi suatu masa kamu harus gantikan atau duduk bareng saya didepan sebagai pemateri atau pembedah buku” kata-katanya kuat dan langsung menyelinap dalam relung hati sebagai tambahan motivasi untuk maju.

“suatu hari, aku akan kembali ke kota ini bukan sebagai mahasiswa rantau yang selalu kehabisan bekal bulanan melainkan seorang penulis yang diundang untuk berbiacara pada forum ilmiah” tekadku dalam hati.

Berbekal motivasi dan teori yang aku dapatkan dari pelatihan penulisan artikel, aku sampaikan kepada kawan-kawanku dengan nada menantang mereka, “ayo kita buktikan bahwa kita sebagai panitia yang mempunyai hajat pelatihan kemarin bisa terlebih dahulu menulis, mengirim dan menjadi salah satu dari ribuan banyak nama mahasiswa yang namanya pernah terpampang di media masa”. Hal ini aku sampaikan ketika rapat pembubaran panitia yang diakhiri dengan makan-makan di warung ayam kampung Pak Sholeh.

Lecutan kata-kataku itu tentu saja memacu ambisi pribadi, tidak hanya untuk menjadi contaoh bagi teman dan pesert yang lain namun ada keinginan untuk mendapat kredit point dan kredit coin juga tentu bermanfaat untuk menambah bahkan menutupi uang bulanan yang tidak menentu.

Akhirnya selang beberapa hari setelah acara tersebut, aku memberanikan diri untuk menulis dan mengirimnya. Ditemani dengan secangkir teh hangat dan tentunya meminjam komouter perpustakaan di sela-sela jam kerja, aku terus mengukir kata-kata untuk kurangkai menjadi sebuah tulisan.

“aku yakin, aku bisa” kataku dalam hati.