Wednesday, August 10, 2011

Bedah buku ( XXXIV)


“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh, rasa syukur marilah senantiasa kita curahkan kepada Dzat yang Maha Pengasih yang telah memberi kita beribu-ribu nikmat hingga kita dapat berkumpul di tempat ini dan tak lupa pula shalawat beriring salam mari kita senantiasa agungkan kepada junjungan alam, yang telah membawa kita dari zaman onta ke zaman Toyota, dari zaman siti khodijah ke zaman siiti nurhaliza, dan walaupun dia tidak pernah ke Ciamis tapi namanya akan selalu manis, sang revolusioner sejati; Muhammad SAW” ucapku mengawali kata sambutan atas nama ketua pelaksana.

“yang saya hormati bapak Prof. Suyono selaku pembantu rektor III, kemudian kepada Prof. Hartoyo selaku pembanding dan yang tak lupa kepada pemateri yang juga penulis buku “pahlawan-pahlawan yang digugat” bang Eki, terima kasih atas kedatangan dan kehadirannya pada acara ini. Saya selaku ketua panitia menyampaikan beribu kata maaf bila jamuan atau tempatnya yang kurang nyaman dihati anda semua” ada perasaan miris didalam hatiku, ketika menyampaikan kata sambutan ini, karena tidak adanya bu Erna; selaku kepala perpusatakaan yang selama ini selalu mendikte kami, bahkan tak jarang mencaci ketika kami membuat suatu kesalahan kecil namun di waktu pelaksanaan acara, dia menghilang.

“adapun tujuan dari acara bedah buku dan pelatihan penulisan artikel ini tak lain adalah kami ingin mendekatkan kembali perpusatakaan dengan mahasiswa, bisa kita bandingkan kebiasaan para pelajar atau mahasiswa pada masa sekarang ini yang lebih senang untuk menghabiskan seluruh waktunya di Mall atau di rental dan yang kedua yaitu untuk mengimplementasiannya kepada media tulisan.waktu saya masih sekolah, saya beranggapan bahwa orang pintar adalah orang yang pandai dalam bidang matematika atau berhitung dan menginjak bangku kuliah anggapan itu berubah bahwa orang pintar adalah orang yang pandai berbicara atau berorasi dan ketika saya menginjak semester akhir ini, anggapan itu kembali berubah bahwa orang pintar adalah orang yang bisa menulis karena tidak ada mahasiswa yang bisa dikatakan lulus bila dia tidak mampu menulis skripsi” kataku sambil diiringi tepuk tangan hadirin yang berada di ruangan.

Acara dimulai dengan terlebih dahulu mengetengahkan acara bedah buku; adapun buku yang akan coba didiskusikan adalah sebuah buku fenomenal yang menjadi buah bibir masyarakat sekarang ini. Dari segi judul, buku ini sudah banyak mengundang tanda tanya dan sebuah keheranan “pahlawan-pahlawan yang digugat” adalah nama buku tersebut.

Ramai namun tertib, para peserta acara silih berganti bertanya dan memberikan komentar atas apa yang disampaikan penulis dan pembanding yaitu pak Prof. Hartojo. Ruangan perpustakaan lantai III yang bila hari biasa, adem ayem dan senyap; hari ini, situasi itu berubah 180 derajat menjadi lautan manusia. Bukan hanya dari kalangan mahasiswa atau akademisi kampus saja, banyak juga masyarakat luar kampus yang berdatangan.

Sebenarnya, dulu kami –kami panitia- agak ragu untuk menyelenggarakan kegaiatan acara bedah buku dan pelatihan penulisan artikel ini, disamping dilaksanakan di perpustakaan yang menurut sebagian lain merupakan tempat yang “tidak enak” untuk disinggahi, buku dan pembicara pun bukan dari kalangan yang sedang ngetop, semisal: Andrea Hirata atau Habiburahman El-shirazy. Oleh karen alasan itu kami hanya menargetkan setikar 75 orang saja yang mungkin akan hadir, namun menjelang H-1, banyak permintaan yang ingin mengikuti acara ini; maka alangkah senangnya kami sebagai panitia.

********

Selepas acara usai, banyak peserta yang menghampiri pembicara; apakah itu dikarenakn ingin berdiskusi lebih dekat atau sekedar foto bareng dan meminta tanda tangan saja, suasana tampak riuh, dari kejauhan nampak Hamidi sang komando acra kewalahan menertibkan peserta, sementara Rudi, Nurawati dan Fitri diserang peserta yang mengantri untuk meminta jatah konsumsi dan di belakang mimbar acara, aku sebagai ketua panitia pelaksana juga dikerubuti para wartawan yang ingin mewawancaraiku; mulai dari wartawan lokal kampus maupun dari media masa regional jawa Timur.

“mas Adul, apa perasaan anda setelah selesainya acara ini?” tanya salah satu wartawan perempuan yang dikalungi identitas koran Surya.

“tentu saja, saya sangat senang karena acara ini dapat berjalan tanpa ada hambatan yang berarti” jawabku.

“Untuk output ke depannya, apakah akan ada sebuah kelompok khusus yang akan mewadahi tulis-menulis di perpustakaan ini?” tanya mereka lagi.

“pasti, kami menginginkan akan tumbuh penulis-penulis baru yang terlahir setelah acara ini, tidak muluk-muluk, kami ingin mereka punya kemauan untuk menulis dan dikirimkan ke media saja sudah bagus apalagi sampai dimuat dan menjadi penulis hebat, oleh karena itu, untuk mewadahi kegiatan tersebut pihak perpustakaan telah membuka semacam sanggar penulis dan buletin bulanan” jawabku sekenanya.

“lalu apa saja kesulitan anda dan kawan-kawan panitia ketika mempersiapkan acara ini, apakah ada ritual-ritual tertentu?” pertanyaan itu datang silih berganti, mulai dari berapa ongkos pematerinya, siapakah sebenarnya anda itu dan lain-lain. Namun ketika mendengar pertanyaan ini, seketika itu aku terungat dengan apa yang kami –panitia- lakukan sebelum acara ini.

Sebulan sebelum acara berlangsung, banyak sekali rintangan menghadang; mulai dari sponsorship yang belum pasti dan beberapa kejadian yang tidak bisa dikatakan remeh, seperti hilangnya helm Amir ketika menyebarkan brosur di alun-alun, kecelakaan jatuh dari pohon yang dialami Rudi ketika hendak memasang backdrop di perpustakaan umum kota Malang, pengorbanan si manis Yeni yang bersedia mengganti uang pendaftaran yang kena copet ketika akan menyetor uang di Bank dan masih banyak lagi. Dan hari ini adalah klimaks dari rentetan penderitaan yang berubah menjadi hasil yang sangat manis.

Khusus untuk aku sendiri, aku harus rela melupakan impianku untuk diwisuda pada akhir tahun ini.

****

Bang Eki; sang penulis buku manantangku ketika menemani dia selepas acara berlangsung untuk mengatakan terima kasih, dia pun berujar kepadaku “lain waktu, kamu tidak boleh hanya puas untuk menjadi ketua pelaksana bedah buku saja, tapi suatu masa kamu harus gantikan atau duduk bareng saya didepan sebagai pemateri atau pembedah buku” kata-katanya kuat dan langsung menyelinap dalam relung hati sebagai tambahan motivasi untuk maju.

“suatu hari, aku akan kembali ke kota ini bukan sebagai mahasiswa rantau yang selalu kehabisan bekal bulanan melainkan seorang penulis yang diundang untuk berbiacara pada forum ilmiah” tekadku dalam hati.

Berbekal motivasi dan teori yang aku dapatkan dari pelatihan penulisan artikel, aku sampaikan kepada kawan-kawanku dengan nada menantang mereka, “ayo kita buktikan bahwa kita sebagai panitia yang mempunyai hajat pelatihan kemarin bisa terlebih dahulu menulis, mengirim dan menjadi salah satu dari ribuan banyak nama mahasiswa yang namanya pernah terpampang di media masa”. Hal ini aku sampaikan ketika rapat pembubaran panitia yang diakhiri dengan makan-makan di warung ayam kampung Pak Sholeh.

Lecutan kata-kataku itu tentu saja memacu ambisi pribadi, tidak hanya untuk menjadi contaoh bagi teman dan pesert yang lain namun ada keinginan untuk mendapat kredit point dan kredit coin juga tentu bermanfaat untuk menambah bahkan menutupi uang bulanan yang tidak menentu.

Akhirnya selang beberapa hari setelah acara tersebut, aku memberanikan diri untuk menulis dan mengirimnya. Ditemani dengan secangkir teh hangat dan tentunya meminjam komouter perpustakaan di sela-sela jam kerja, aku terus mengukir kata-kata untuk kurangkai menjadi sebuah tulisan.

“aku yakin, aku bisa” kataku dalam hati.

Wednesday, June 22, 2011

Sebuah Kepekaan Memilih (XIV


Hari-hari pasca kejadian skenario pencalonan presidium itu, aku menjadi semakin dikenal di pondok, yang sebelumnya tak banyak orang yang mengetahui aku. Namun ada hikmah muncul dari setiap kejadian, aku menjadi semakin banyak teman dan kawan. Kehadiranku di panggung RTO sebagai presidium nampaknya menjadi berkah juga untuk memperbaiki imageku di mata para ustadz, seperti diketahui sebelumnya aku beberapa kali kena takzir dan terancam di keluarkan dari pondok, namun setelah kejadian itu mereka pun berbalik simpati kepadaku. Itu yang aku lihat dari beberapa kesempatan yang aku temui.

Di dalam berorganisasi, tuntutan untuk lebih saling memahami sesama lebih di tekankan, lebih dari itu kita harus peka dalam menyikapi perbedaan yang ada, itulah jiwa luhur roh negeri tercinta Indonesia kita, tak hanya sampai disitu, kita sebagai “agent of change” harus membawa perubahan positif, tentunya untuk tumbuh kembangnya sikap, karakter dan nurani bangsa.

Perubahan yang dibebankan bukan semata-mata untuk unjuk kebolehan, namun sikap lahirilah yang dibarengi dengan keikhlasan untuk mengabdi dan berbakti, sikap inilah yang jarang ditemui pada masa sekarang ini, seorang pemimpin hanya ingin di puja saja, tanpa mengurangi peran vital seorang pemimpin, mereka lebih atau cenderung memaksakan apa yang menurutnya menguntungkan untuk dirinya.

Pada tanggal 27 Oktober 2006, berbagai organisasi se-Malang raya menggelar demo akibat kenaikan BBM (bahan bakar minyak), kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil yang tentunya semakin termarjinalkan dari buah kebijkan ini. Pemerintah pun beralasan kebijakan ini untuk menutupi kerugian negara akibat tingginya angka yang dikeluarkan untuk subsidi BBM tersebut. Subsidi jelas harus dikurangi namun bukan untuk rakyat; kepada para bos dengan kendaraan menterenglah subsidi ini tidak lagi berlaku.

Akhirnya kebijakan ini pula yang membuat aku dan kawan-kawanku di ijo ireng mencoba untuk menyampaikan aspirasi ini kaepada wakil rakyat terhormat.

Pagi itu, tepanya hari jum’at, kami berkumpul di depan perpustakaan kampus, sebelum pergi menuju pusat kota; gedung DPRD kota Malang, satu per satu pentolan organisasi ijo ireng berorasi di depan kami, untuk menyamakan tuntutan dalam satu komando aksi.

Kami merangsek maju menuju pusat kota, dengan menumpang truk, kami pun berangkat bersama dengan komisariat dan organisasi lainnya, aku berdiri berdekatan dengan seniorku; asmon, zainal, dan mas heru. Asmon nampak sumringah ikut demo kali ini, itu dikarenakan dia mendapat suntikan motivasi lebih dari gadis pujaannya yang baru semalam baru berikrar untuk berpacaran.

“wah mon, awakmu kok keto seneng dino iki?” tanya zainal yang memang sering usil kepada teman-temannya.

“yo skarepku, mau seneng juga gak minta uang dari kamu” jawab asmon sekenanya dengan sedikit dialek maduranya.

“yo aku khan takon, lek seneng, bagi koncone po’o” sela zainul.

“wes, arep aksi kok malah rame, iki lho nul, asmon iki mari di tompo cinta ne karo Susi, makane dia teko seneng” sela Heru menengahi keduanya.

“oh, selamat mas, semoga langgeng pacarannya sampai nikah” ucapku memberi selamat kepada seniorku ini.

“suwun dul, sekarang giliran kamu yang belum punya gandengan, masa jomblo terus, gak asik ah” asmon coba menjawab dengan bahasa indonesia yang terbilang gaul, tapi tetap saja, logat atau dialek maduranya mendominasi.

15 menit berlalu, akhirnya kami sampai di pusat kota, sebelum pergi ke gedung DPRD, kami terlebih dahulu singgah di kantor cabang ijo ireng yang berada di jalan slamet riyadi, kantor kecil yang seperti ruko; tak ada nilai istimewa dari tempat ini kecuali hanya letaknya saja yang berdekatan dengan pusat kota.

Disana telah banyak berkumpul orang-orang yang membawa bendera seperti kami; ijo ireng, dengan satu komando kami merangsek maju menuju gedung wakil rakyat, dalam perjalanan menuju kesana, tak lupa kami menyanyikan lagu-lagu aksi dan lagu Indonesia raya sebagai simbol keberpihakan kami kepada rakyat.

Sesampainya disana, koordinator aksi mulai unjuk gigi, dia berorasi dengan menggunakan mikopon butut, dengan lantang dia berkata:

“kawan-kawan, hari ini kita berada di depan gedung wakil rakyat yang terhormat, wakil kita sebagai penyambung lidah rakyat, untuk itu kita tidak perlu malu untuk berorasi disini karena ini rumah kita juga, rumah rakyat sebagai simbol pejuang kesejahteraan”

“namun yang terjadi pada akhir-akhir ini berbeda dengan apa yang kita harapkan, mereka (anggota DPRD) hanya diam ketika kesewenangan pemerintah pusat dalam menaikkan harga bahan bakar minyak, ini tidak bisa di biarkan, ini sebuah ketidakadilan, ini adalah sebuah bentuk penindasan baru, penjajahan baru yang diperan oleh pemerintah yang seharusnya mengayomi rakyatnya” sahutnya dengan nada berkobar-kobar, sang koordinator aksi beraksi.

Aku, asmon, dan zainal hanya berdiri mematung sambil mencoba berteduh di balik bendera yang kami bawa, sementara heru sibuk membagikan air minum kepada teman-teman lainnya, aksi hari ini ternyata tidak mendapatkan respon dari wakil rakyat, mereka tidak menemui kami yang sudah 4 jam berorasi, sebagai bentuk kekecewaan kami, akhirnya kami pergi meninggalkan gedung wakil rakyat ini, sebelum pergi, kami bersama-sama meludahi jalan munuju gedung DPRD.

Waktu telah menunjukan jam 11.35 wib, kami pun pulang dengan berjuta perasaan kecewa, tapi seminggu lagi kami akan datang kembali untuk membela rakyat yang semakin terjepit, setelah itu, kami pun buru-buru meninggal kantor cabang karena 15 menit lagi shalat jum’at akan segera di mulai, kami pun lantas menuju mesjid kampus terdekat yaitu kampus UIN Maulana Malik Ibrahim.

Setelah shalat jum’at, mas heru dan zainal memberitahu aku bahwa Rapat Tahunan Organisasi (komisariat) yang akan dihelat awal tahun depan, jadi dari beberapa persyaratan; aku, erluna, dewi sudah masuk kriteria sebagai calon untuk menggatikan kepengurusahan mbak yani dan mas asmon yang akan segera demisioner.

Seiring waktu berlalu, aku merasa begitu tertekan, otomatis bila kelak aku menduduki posisi strategis tersebut, mau tidak mau aku harus menghabiskan separo waktuku di komisariat, sedangkan baru kemarin aku menyetorkan hapalan juz ‘amma sebagai takzir akibat kelalaianku tidak berada di pondok lebih dari 3 minggu, ditambah lagi, aku dituntut untuk cepat lulus kuliah karena ibuku hanya berjuang sendirian membiayai kuliahku setelah bapak meninggal dunia pertengahan tahun lalu, terus terang ini saat-saat dilematis. Aku harus memilih, apakah akan tetap exis atau exit, sebagai bagian dari ijo ireng ataukah fokus kuliah supaya cepat lulus?

Tiba saatnya waktu pendemisioneran pengurus lama, sebelumnya mereka memaparkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) nya kepada khalayak komisariat, asmon dan yani terlihat sumringah karena sebentar lagi mereka akan terbebas dari amanat komisariat setahun yang lalu, walau di serang bertubi-tubi dengan berbagai pertanyaan dari seluruh kebijakankan selama ini, mereka tetap santai menghadapinya, terlebih asmon sering mengelinginya dengan humor.

Sementara aku juga tengah sibuk mencari cara agar sesi LPJ ini terus berlangsung hingga larut malam sehingga sesi pemilihan ketua komisariat akan di undur besok pagi karena bila ini terwujud aku bisa leluasa untuk escape dari arena sidang, selain alasan di atas tadi, untuk kali ini, aku punya kesimpulan bila aku tetap mengikuti acara pemilihan ini aku berasumsi akan mendapatkan 40 persen suara, sementara luna dan dewi berbagi angka sama, kesimpulan ini diperoleh dari analisaku mengenai kader yang hadir, karena mayoritas mereka adalah perempuan.

Dan rencana pun berjalan seperti yang aku inginkan, sesi LPJ akhirnya berlarut-larut hingga tengah malam dan akan di lanjutkan besok, itu berarti peluangku lebih besar untuk escape dari arena sidang, dan pagi itu juga aku pergi meniggalkan arena sidang untuk izin kuliah AIK minggu, sesampainya di kampus aku pun merasa plong, lalu aku matikan handphone bututku.

Dan saat-saat ketika itulah, biasanya orang di uji; dengan kemampuan memilih suatu masalah; diuji dengan berbagai variabel kemungkinan yang mungkin akan berakhir kecewa atau bahagia; maka berbahagialah orang yang diberikan anugerah untuk memilih.

Dan aku pun memilih untuk tidak dicalonkan sebagai calon ketua komisariat karena berbagai pertimbangan yang menurutku lebih baik.

“maafkan aku kawan...!” seru kepada semua orang yang hadir pada acara rapat tahunan itu.

Ini sebuah pilihan hidup, jauh dari segala sudut pandang objektif yang hadir dari cara pandang setiap kalian, aku manusia biasa yang hanya dianugerahi hati tanpa bisa sepenuhnya diyakini, aku manusia biasa yang dianugerahi otak tanpa bisa berontak dengan pilihan situasi yang semakin mendesak, seandainya aku masih bisa memilih dengan berbagai kemampuan memilih keadaan, maka aku tidak akan pergi dari arena rapat tahunan itu, namun hidup adalah sebuah pilihan, kawan!.

I J O I R E N G ( XII )


Ijo ireng adalah warna bendera salah satu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Dalam bahasa jawa “ijo” berarti hijau dan “ireng” berarti hitam, organisasi ini telah melahirkan banyak tokoh kaliber nasional, beberapa diantaranya Jusuf Kalla, Nurkholis Majid, Akbar Tanjung dan masih banyak lagi.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah nama organisasi ini, tadinya terus terang aku merasa ragu untuk bergabung dan menjadi bagian dari organisasi ini, disamping aku masih ingin menikmati sedikit waktu luangku setelah seminggu bergumul dengan tumpukan buku dan tugas-tugas, aku juga sedikit mengerti bahwa hampir 95% anggota keluarga besarku terlahir dan besar pada organisasi berbeda, bahkan bapakku (alm) adalah didikan organisasi berbendera kuning biru yang notabenenya adalah lawan politik organisasi ini.

Oleh karena alasan tadi, aku bimbang akan kemana langkahku, selain harus cermat memilih aku juga berkeinginan dapat melihat sesuatu pada sudut yang berbeda, hingga suatu kesempatan aku berdiskusi dengan bapak (alm).

“menurut bapak, dengan cara apa kita dapat menemukan jati diri?” tanyaku padanya, ketika liburan lebaran pertama kuliah.

“sebisa mungkin kamu harus sering berkumpul dengan orang banyak agar pengetahuan dan pengalamanmu bertambah, nah.. dari sanalah kamu bisa memilah dan memilih apa saja yang baik dan buruk buat kamu jalani, lebih dari itu kamu harus bisa memimpin” jelasnya panjang.

“lalu apa enaknya jadi pemimpin; sering dikritik, dicaci maki, bukankah lebih enak jadi makmum saja?” tanyaku seolah tak setuju.

“kamu pasti hafal hadist Rosullah SAW; setiap kamu adalah pemimpin, bukan makmumkan! Pada saat sering dikritik, dicaci maki itulah, kamu akan berpikir untuk introspeksi diri dan lebih jauhnya lagi kamu akan terlatih untuk memecahkan masalah pada situasi itu, jadi bukan hanya menunggu komando saja, hidup itu harus punya karakter, nak. Agar tidak di permainkan yang lainnya” jelasnya sambil mengisap sebatang Dji Sam Soe.

“oia, betul pak, terus caranya untuk terlatih seperti itu, bagaimana?’ timpalku sambil membenarnya letak dudukku.

“ya kamu harus masuk dan aktif di organisasi, disana kamu akan menemui banyak tantangan dan bertemu banyak orang, tapi jangan berpikir bahwa dunia sekolah sama seperti dengan dunia gerekan mahasiswa?” jelasnya.

“memang bedanya dimana, pak? Oia, sewaktu OSPEK dulu banyak yang nawarin Adul untuk masuk organisasi”. Kataku sambil menyeruput kopi susu bikinanku.

“ketika kamu masuk dunia kampus, kamu akan menemui berbagai macam watak dan komplesitas pergaulan, berbeda dengan ketika di sekolah, semua masih karena guru. Wah bagus itu, dul, berarti kamu sudah terdeteksi mereka, memang apa yang membuat kamu istimewa seperti itu?” timpalnya.

“ya, mungkin waktu itu Adul mungkin terlihat vokal aja, mereka memakai banyak bendera, ada yang berwarna hijau-hitam, kuning-biru, merah-hitam, hitam-putih dan banyak lagi, Adul jadi bingung milihnya. Klo bapak dulu apa?” tanyaku.

“pada dasarnya semua organisasi itu sama bagusnya, namun yang akan membedakan dari semua itu adalah kemauanmu untuk maju dan berkembang kedewasaan berpikir, maka dari sanalah pola pikirmu akan sedikit demi sedikit terbuka. Kalau bapak dulu ikut yang warnanya kuning-biru, bahkan hampir semua saudara-saudaramu terdidik dari sana, tapi bapak tidak akan memaksa kamu untuk ikut organisasi tersebut, silakan kamu mau pilih yang mana saja, yang terpenting adalah karakter dan jatidirimu terbentuk”. Ungkapnya bijak.

“iya pak, mungkin semester depan Adul sudah mulai aktif di organisasi pada salah satu bendera mereka”. Timpalku.

“besar harapan bapak, kamu bisa menjadi pemimpin, minimal dalam keluarga”. Jelanya sambil menepuk-nepuk bahuku.

Itulah secuil cuplikan percakapan dengan bapak nomor satuku, aku bangga padanya, karena dia tidak pernah membatasi pola pikir anaknya, bahkan ketika akan masuk kuliah dulu di kampusku yang sekarang ini, bapak siap pasang badan ketika ada sebagian dari keluarga besarku yang melarangku berkuliah di universitas ini, karena masalah klasik beda paham dalam beribadah.

************************

Selepas liburan lebaran, ternyata benar saja,- di pelataran pintu masuk kampus hampir dikuasai mahasiswa senior yang berderet mempromosikan organisasinya, aku acuh saja kulangkahkan kakiku menuju kelas kuliah hari iini, namanya bukan promosi kalau tanpa bujuk rayu, beberapa diantara mereka sigap mendatangiku yang acuh berjalan maju.

“dik, silakan ambil brosurnya, ini organisasi tertua di indonesia bahkan berdiri sebelum Budi Oetomo?” bujuknya kepadaku.

Wah mas, terima kasih. Saya sedang terburu-buru, ada kuliah” sanggahku yang terus berjalan, tetapi yang terpikir lucu olehku adalah promosinya yang menyatakan “organisasi tertua sebelum Budi Oetomo”, aku tidak habis pikir mendengar kata-kata promosi orang tadi, “siapa yang buta sejarah, apa aku yang harus membaca lagi, sepengetahuanku, Budi Oetomo adalah cikal bakal berdirinya organisasi di Indonesia” pikirku heran sambil terus berjalan berlalu meninggalkan kerumunan orang-oarang tadi.

Setelah kejadian tadi, ketika aku hendak shalat dhuhur di mushola kampus, aku bertemu dengan salah satu senior yang kuhapal dia adalah pentolan salah satu organisasi di kampus,

“dul, habis ini ada acara gak? “ sapanya akrab

“wah, kebetulan gak ada mas, aku mau langsung pulang” jawabku sopan.

“ayo ikut seminar, ada seminar tentang “urgensi RUU pornografi, pematerinya ada; anggota DPR RI, artis, ada juga mantan PSK” jelasnya kepadaku.

“wah keren tuh, bayar gak mas? Terus terang klo bayar saya gak punya duit” sambungku.

“gratis, asal kamu mau ikut organisasiku” jawabnya singkat.

Sejurus kemudian, aku berjalan mengikuti seniorku ini, dalam perjalanan dia mempromosikan organisasinya, dari mulai sejarah berdirinya hingga keimpulan bahwa merekalah yang terbaik di kampus ini, aku sendiri acuh saja dengan penjelasannya, dalam pikiranku sekarang adalah aku bisa bertemu artis dan juga PSK itu.

******

Selesai seminar aku langsung pulang, tanpa sepengetahuan seniorku tadi, aku langsung pergi meninggalkan tempat seminar yang sedang mengerumuni artis dan PSK yang menjadi pemateri pada acara seminar itu. Dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan Erluna –musuh diskusiku- dia mengajakku untuk lebih intens diskusi agar potensi yang kita milki bisa dikembangkan, namun intinya dia mengajakku gabung dalam organisasi “ijo ireng”nya, dengan nada diplomatis aku menjawab

“ya, nanti aku pikir lagi” sambil berlalu pergi

“dul, nanti ku kabari lagi via hape” teriaknya keras seolah mengingatkan aku.

Lalu aku pergi dengan meyetop mobil kebesaranku, angkot biru CKL; jam hapeku menunjukan jam 17. 25 wib, itu berarti aku akan tiba ke pondok tepat adzan magrib berkumandang, berarti juga aku tak punya waktu banyak untuk sekedar meluruskan badan yang sudah seharian beraktifitas.

Benar saja prediksiku, sesampainya di pondok aku langsung wudlu dan bergegas menuju mesjid untuk berjamaah shalat magrib dan dirosah, di kamar teman-temanku sudah pergi ke mesjid, Cuma ada si Jono yang tiduran di dalam lemari untuk menghindari ustadz yang lalu lalang untuk mengingatkan kami berjamaah dan dirosah.

“sssssstttt, ojo rame dul” suaranya memecah keheningan asrama yang sudah kosong.

“oalah, kamu tho, Jhon” sambutku.

Aku pun pergi meninggalkan Jono yang sedang asik bersembunyi, padahal dirosah hari ini akan diisi oleh kepengasuhan, bapak Nafi selaku kepala pondok pesantren kami, aku sendiri tidak mengerti kenapa Jono tidak mau ikut disorahnya Ustadz nafi, seingatku dia dulu selalu bersemangat kalau ada dirosah kepengasuhan.

Akhirnya rutinitasku hari ini selesai sudah, mulai dari berjamaah subuh yang disambung dengan dirosah lalu pergi ke kampus dan berjamaah sholat magrib dan isya yang diselingi dengan dirosah. aku pun langsung merebahkan badanku di atas ranjang berlantai 2, namun sesaat kemudian, ada panggilan dari mikrofon yang memanggil namaku.

“Attension to Abdul Omen there is someone calling you” begitu suara mikrofon itu berbunyi memanggilku.

Tentu saja, aku langsung bergegas turun ke lantai 1 menuju ruang telepon, pikirku, “siapa yang tumben menelpon aku ya”

“haloo, assalamu’alaikum, ini dengan Omen ya?”

“wa’alaikumsalam, iya betul, ini sapa ya?”

“ini mas Puji sumargono, oia, katanya Erluna kamu tertarik ikut organisasi ya” tanyanya tanpa basa-basi.

“iya mas”

“sekarang kamu bisa datang ke Tirto Utama Gg.8 gak?” pintanya yang masih tanpa basa-basi.

“waduh mas, aku baru aja datang ke pondok, klo sekarang aku kesana, udah malam lagi pula aku mau ngerjain tugas kuliah” jelasku diplomatis.

“ya udah, klo begitu besok kamu bisa ikut training kader 1 khan, acaranya dilaksanakan besok sampai minggu sore, biayanya Cuma Rp. 20.000,;” jelasnya masih tanpa basa-basi.

“ iya mas, insyaAllah saya datang, besok jam berpa dan kumpul dimana?” tanyaku mencoba untuk memperjelas.

“besok kumpul dulu di alamat tadi –Tirto Utama Gg. 8- jam 08.00 pagi ya, ditunggu loh, maaf udah ganggu kamu” sambungnya.

“okeh mas, ga apa-apa”

“assalamu’alaikum”

“wa’alaikum salam”

Dan pagi itu, aku berangkat untuk mengikuti latihan kader 1 se-KorKom kampus, sebagai catatan ternyata hanya aku; kader yang tidak mengikuti tahapan seleksi atau screning organisasi. Dan setelah itu, aku resmi menjadi bagian dari kader Ijo-Ireng.

Wednesday, June 15, 2011

MUSIBAH

Setelah melaksanakan ibadah shalat Isya, kami berkumpul di pelataran mesjid, nampak 25 orang sudah siap berangkat untuk memperbaiki gizi (ups..! tahlilan maksudnya), aku punya satu anekdot yang aku peroleh dari guruku di kampung ; "apabila ingin beribadah cepat, silakan ikut Muhammadiyah, tapi apabila ingin perut kenyang setelah ibadah, silakan ikut NU (Nahdlatul Ulama)" kenangku.

Dari kejauhan, aku melihat Yuki dan Muladi sedang berbincang, tak salah lagi pasti sedang ngobrol tentang kejadian tadi siang, bukan siding skripsinya Mat Bensin tentunya, dilihat dari sorot matanya, Yuki sedang curhat tentang gadis “si penjual roti” yang sedang PKL dikampusnya. Dan aku harap Yuki tidak lagi jingkrak-jingkrakan di tempat tahlilan nanti.

Sesampainya di rumah duka, aku langsung saja duduk persis disampingnya Mas Rosyid –mahasiswa tingkat tinggi di pesantrenku, yang sudah hapal ratusan doa-, dia nampak terlihat calm dan berwibawa. Dari kejauhan, aku melihat bu Jojon beserta 3 putrinya terlihat masih menyimpan luapan tangis, matanya masih terlihat sembab dan rona wajahnya memerah. Melihat pemandangan keluarga pak Jojon ini, aku teringat dengan kejadian serupa yang menimpaku 5 bulan silam.

***

Ketika itu hari Sabtu tanggal 12 Rabiul tsani, aku mendapatkan sesuatu yang tidak pernah ku duga, sesuatu yang tak pernah kutakutkan, tak sedikitpun terbesit, tak sekejap pun terlintas bahwa aku akan mengalaminya, seperti petir di siang bolong, seperti hujan badai di tengah sahara, aku yang selalu tampak ceria, ketika hari itu, air mataku terpaksa menetes.

Pagi hari setelah dirosah pada hari itu, aku berbincang dengan Bawo –mahasiswa perikanan asal Tuban- beserta Ust. Abdulah –guru ngajiku lulusan Gontor yang berasal dari Blitar-, beliau menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika mondok di Gontor Dulu, lantas ketika suatu hari beliau mendapatkan telepon via petugas pondok (Gontor) yang mengabarkan bahwa beliau harus segera pulang, ketika tiba di rumahnya, beliau telah mendapati ayah tercintanya sudah berpulang untuk selama-lamanya, alangkah sedihnya beliau pada saat itu, “itu musibah sekaligus cobaan kepada saya waktu itu, apakah saya akan lanjut mondok atau pulang, dan saya berkeyakinan untuk terus belajar di pondok sambil berjualan buku di toko milik pesantren ” kenangnya kepadaku dan Bawo.

Aku merasa terharu sekaligus salut kepada guruku itu, beliau bisa bertahan ketika suratan takdir sejenak tidak berpihak kepadanya.

Kemudian selepas obrolan tadi, aku dan Bawo pamit, Bawo langsung pergi ke dapur untuk sarapan sedangkan aku terlebih dahulu masuk kamar untuk menyimpan buku dan ganti pakaian. Tibanya di dapur,aku bertemu dengan Arham –saudaraku yang juga kuliah dan mondok disini-, dia memintaku untuk menemuinya di kamar setelah aku selesai sarapan nanti.

Lalu setelah makan –tepat pukul 7 pagi-, aku langsung pergi menemui saudaraku tadi, terus terang aku tidak mempunyai firasat apapun, namun ketika aku tidur semalam, aku bermimpi naik pesawat terbang.

“Dul, saya sudah belikan kamu tiket” tukasnya sambil memberi tiket Garuda
”lho? Emang siapa yang mau pulang” kataku heran
”sekarang, kamu lebih baik pulang dulu, tadi pagi amang dapat telepon bapakmu dirawat di RS” terangnya kepadaku
”yang bener ah, kemaren masih SMSan” jawabku heran
”sekarang pergi mandi sana, nanti dianter ke bandara” katanya singkat sambil mengambi peralatan mandi.

Aku pun pergi bersama dengan mas Yasik, mas Odang dan tentu mang Arham yang akan mengantarkanku ke Bandara Juanda Surabaya, aku sebenarnya masih bingung, kenapa tiba-tiba aku disuruh pulang, aku terus bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini, beberapa SMS masuk di hape, yang menyatakan duka cita, lalu pacarku ketika itu,jua meneleponku menanyakan keadaan dan posisiku sekarang dan di akhir telepon dia berucap ”yang sabar ya sayang, mungkin Tuhan punya rencana lain buat kamu”, sebelumnya aku coba menghubungi rumah dan hape saudaraku, tidak ada jawaban. Semua seolah bungkam, semua seolah sedang bersandiwara kepadaku

Setibanya di Bandara Soekano-hatta Cengkareng, setelah terbang selama 80 menit di udara dari Surabaya-Jakarta, akhirnya aku bertemu mang Herman dan Pak Kumis yang menjemputku di bandara, tanpa banyak kata mereka langsung membawaku pergi meninggalkan bandara menuju kota kecilku.

Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam lamanya, akhirnya aku tiba di kota kecilku, aku lantas dibawa ke kampung Sirojul Banat –kampun kelurga bapakku- disana sudah berkumpul ribuan masyarakat yang sedang menunggu kedatangan seseorang. Lalu aku pun di bawa ke rumah Kang Endin –sesepuh kampung yang juga kakekku-, kemudian beliau berkata ”Dul, kamu harus sabar, karena orang sabar disayang Allah SWT, tadi pagi bapakmu sudah pergi menghadapNya” jelasnya, seketika itu tangisku pecah, aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya, ”sudah, jangan nangis!!!! Kanjeng nabi juga Dulu di tinggal ayah-ibunya, ketika beliau berumur 6 tahun, udah sekarang kamu wudlu dan kita sholatkan bersama-sama, diluar sudah banyak masyarakat yang menunggu kedatanganmu” bujuknya sambil mengangkat tubuhku yang lemas.

Tiba di rumah duka, aku melihat ada seorang lelaki tua yang sudah terbujur kaku, kain putih nan bersih menutupi seluruh jengkal tubuhnya, disampingnya ada beberapa santri yang sedang membaca surat Yasin, dia seolah tersenyum kepadaku, wajahnya bersih dan wangi lantas aku menghampirinya dan tak segan kuciumi keningnya untuk terakhir kali. Ya untuk terakhir kali, aku mencium kening lelaki tua itu; yang tak lain adalah bapakku.

Lamunanku seketika terhenti, ketika Mas Rosyid yang duduk persis di sampingku mulai membacakan surat Yasin untuk mendiang pak Jojon.


*******************************


teriring tangis keluarga tercinta
kuantarkan dirimu
ke tempat abadi kita semua
ke tempat tak berujung
menghadap kehadirat Illahi
 inilah peristirahatan terakhirmu
bukan rumah seharga uang miliyar
bukan rumah vila di puncak gunung
melainkan rumah keabadian
yang tak berpintu dan berjendela
dan aku pun, tak dapat temani jasadmu lagi
maafkan aku..!
hanya sampai disini
aku berjanji untukmu
bahagiakan istri dan anakmu.

PERBAIKAN GIZI

Sepulangnya dari menonton ujian skripsi Mat Bensin dan juga beli roti, Yuki bukan kepalang girangnya, dia seperti menenukan kembali repihan hatinya yang hilang 4 tahun yang lalu dan ketika dia mendapatkan nomor hape si penjual roti tadi, dia seperti orang yang baru menang lotre, jingkrak-jingkrakan kesana kemari. Nomer hape si penjual roti tadi, aku dapat dari manajernya ”kedai roti gosong manis” yang kebetulan teman sekampungku;

”Ayu Violet namanya tapi orang-orang disini biasa memanggil dia; Vio” tutur Fatimah.
”Fat, makasih ya, nanti puasa kita pulang bareng lagi” seruku kepada Fatimah
”oia Dul, sama-sama, nanti janjian aja ya” jawab Fatimah halus

Disampingku Yuki masih saja ketawa-ketawi sendirian.

”Yuk, kamu seneng banget ya!, sampai lupa ucapin terima kasih sama Fatimah” tanyaku kepada Yuki yang masih saja mesam-mesem
”yo tadi kan awakmu wis ngucapno suwun” jawabnya santai
”udah donk, Yuk! Malu tuh diliatin banyak orang” cegahku
”ora opo-opo” cetusnya
”mending sekarang kita kasih selamat dulu ke Mat Bensin, tadi Muladi SMS katanya dia udah keluar dari ruang eksekusi” saranku mencegah Yuki yang semakin gak karuan
”oia, Mat Bensin wis metu ta, ayo merono” Yuki pun beranjak pergi dari tingkah gilanya. Nampak dari kejauhan, Ikbal dan Muladi sudah berkerumun dengan Mat Bensin.

Setelah itu, kami beranjak pergi ke suatu tempat menuju Jl. Soekarnohata, tepatnya di kedai ”Bakso GOOOng”, kami ditraktir Mat Bensin sepuasnya makan bakso di kedai ini karena acara syukuran kecil Mat Bensin lulus sidang skripsi dengan predikat B,”Alhamdullilah, ayo rek, makan sak puase ” ajak Mat Bensin. Kami pun tak segan memesan beberapa butir bakso dan jeroan untuk kami santap sepuasnya. ”huh, uenake bakso iki, sering-sering ae arek-arek sidang skripsi” seru Ikbal –mahasiswa asal Gresik yang juga masih bersaudara dengan Mat Bensin- yang begitu menikmati.

Dan kami pun beranjak pulang menuju pondok kami, setelah puas makan bakso. Sesampainya di kamar mataku langsung saja terpejam, rupanya sudah letik seharian ini beraktivitas ditambah makan bakso Gong yang super enak dan mengenyangkan, hitung-hitung perbaikan gizi. Kenapa aku katakan perbaikan gizi? Begini ceritanya, sebenarnya di pondok kami sudah disediakan makan untuk para santrinya di dapur 3 kali sehari, namun harga memang tidak bisa berbohong. Bayangkan saja, di pondok kami –Al-Ghozali- setiap santri hanya dipungut biaya bulanan sebesar Rp. 300.000,- saja! Uang itu sudah termasuk untuk bayar dirosah (pengajian) kamar, listrik dan air sepuasnya ditambah makan 3 kali tentunya dengan nemu ala kadarnya, jadi sangat wajar bila ku katakan makan siangku tadi adalah perbaikan gizi.

Sore hari setelah bangun dari tidur siangku, aku lantas mandi dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah shalat Magrib, kemudian setelah itu tentu saja dirosah, shalat berjama’ah Isya dan makan di dapur. Ketika aku sedang mengantri di depan kamar mandi, nampak Sukadi –mahasiswa asal Jombang yang juga takmir mesjid di pondok kami, dia juga dikenal punya 100 jurus menaklukan wanita- sedang bingung, rupanya dia sibuk mencari santri yang akan dia ajak tahlilan.

”Suk, ada apa? Kok mondar-mandir gitu?” tanyaku kepada Sukadi yang dari tadi mondar-mandir
”iki lho aku gole wong, awakmu duwe acara gak engko bengi?” tanyanya
”gak ada, emang mau ada apa?” jawabku lantas aku balik bertanya
”yo melu aku tahlilan di omahe Pak Jojon, tadi isuk wonge tilar” terangnya
”innalillahi wa innailaihi rojiun” jawabku ketika mendengar Pak Jojon telah meninggal dunia tadi pagi
”yo opo melu ga?” tegasnya
”ya, aku mau ikut” jawabku
”lek ngono, engko bengi ngumpul di ngarep mesjid mari shalat Isya” jelasnya
”okeh deh” kataku singkat saja
”saiki berarti golek 2 wong maneh, sopo yo?” dia nampak kebingungan
”ajak aja Yuki sama Muladi, InsyaAllah mereka mau ikut” saranku
”oia, matur suwun yo, Dul! Ojo lali engko bengi perbaikan gizi” katanya sambil pamit meninggalkanku yang masih ngantri didepan kamar mandi.